Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Wacana Libur Sekolah 1 Bulan Selama Ramadan, Dikaji Lagi!

9 Januari 2025   09:10 Diperbarui: 9 Januari 2025   09:10 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Saat Ramadan 2025, murid akan libur selama satu bulan.”

Mendengar wacana ini, Anda merasa senang atau sedih? Siapa yang tidak suka libur, apalagi libur panjang. Liburnya lama, tapi tetap gajian (bagi pekerja). Enak toh…?

Tapi, apakah enak juga bagi peserta didik? Tidak. Libur nataru dua minggu saja, butuh usaha ekstra untuk mengembalikan semangat dan fokus belajar. Kalau satu bulan…? Bisa jadi loyo otaknya!

Libur satu bulan selama Ramadan adalah salah satu janji kampanye Prabowo dalam Pilpres 2024. Setelah menjadi presiden, akankah dia menepati janjinya ini?

Menteri Agama Nasaruddin Umar tak menampik adanya wacana libur sebulan selama Ramadan 2025. Wacana itu masih terus dikaji terkait dampaknya. Di Madrasah dan pondok pesantren libur selama puasa, ujar Nasaruddin (30/12/2024).

Meski begitu, Menag belum tahu apakah semua jenjang sekolah akan diliburkan atau hanya jenjang tertentu. Nasaruddin berharap, di bulan Ramadan anak-anak bisa lebih rajin beribadah, mengaji, dan menghafal Al-Quran.

Wacana ini muncul setelah mempertimbangkan berbagai aspek seperti efektivitas proses belajar mengajar, serta kebutuhan siswa dan guru dalam menjalankan ibadah dengan lebih khusuk.

Pro-kontra libur 1 bulan

Berdasarkan kalender Hijriyah yang disusun Kemenag, awal Ramadan diperkirakan jatuh pada 1 Maret 2025. Wacana ini menimbulkan banyak pro-kontra di masyarakat maupun di dunia maya. Ada yang menyambut gembira, agar siswa bisa lebih fokus menjalankan ibadah puasa, tarawih (dilakukan setelah maghrib, bukan?) dan mendalami ilmu agama. Namun, ada juga yang khawatir jika libur panjang bisa mempengaruhi kualitas akademik siswa, terutama dalam menghadapi ujian sekolah atau persiapan kelulusan.

Pengamat sosial dan keagamaan, Anwar Abbas menilai, libur sekolah selama Ramadan dapat memberi kesempatan pada siswa untuk lebih memahami esensi bulan suci. “…agar anak-anak tahu bulan puasa itu adalah bulan suci yang harus dihormati,” ujar Abbas.

Menurut Abbas, pendidikan tetap bisa dilakukan secara daring, sehingga siswa tetap bisa belajar meski tidak datang ke sekolah. Namun, di era sekarang, efektifkah pembelajaran daring?

Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah menilai, wacana libur sekolah 1 bulan harus dikaji dan dianalisis. Dengan analisis yang mendalam, bakal diketahui sisi positif dan negatif terhadap wacana libur satu bulan ini. Salah satu yang ia soroti adalah target kegiatan belajar mengajar (KBM). Kalau mau libur satu bulan, harus diberikan tugas, ujar Ledia.

Menurutnya, KBM hanya efektif pada dua pekan pertama saat Ramadan. Dia menghimbau, pemerintah menentukan konsep dan target yang jelas sebelum merealisasikan wacana ini.

Belum ada pembahasan di Kemendikdasmen

Sedangkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti berujar, kementeriannya belum membahas wacana libur satu bulan selama Ramadan ini. Menurutnya, harus ada keputusan bersama lintas kementerian untuk menetapkan libur sekolah satu bulan ini.

Libur 1 bulan pernah diterapkan

Libur satu bulan selama puasa pernah diterapkan di sekolah pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kebijakan ini tetap diingat orang, khususnya anak-anak di era 1990-an hingga awal 2000-an. Gus Dur menghimbau sekolah-sekolah untuk mengadakan pesantren kilat selama libur Ramadan. Kebijakan ini diambil Gus Dur guna memberikan kesempatan bagi anak-anak agar lebih fokus dalam belajar agama Islam.

Kombinasi wacana libur satu bulan dan Ujian Nasional

Dalam era Kurikulum Merdeka di Menteri Nadiem, ujian bukan lagi penentu kelulusan. Sedangkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah hendak “membangkitkan” kembali Ujian Nasional untuk Tahun Ajaran 2025-2026. Jika aku menjadi murid, akan sangat riang dengan wacana libur 1 bulan. Tahun ini belum ada ujian. Libur, OK saja!

Sedangkan dari sisi mayoritas orang tua, pasti cemas dan khawatir. Biasanya, anaknya berada di sekolah sekitar 7-8 jam sehari. Artinya sudah ada pihak sekolah yang mengawasi anaknya sampai pulang sekolah.

Jika anak libur sebulan penuh, siapa yang akan mengawasi? Orang tua punya pekerjaan dan kesibukan masing-masing. Apa yang akan dilakukan para murid? Pilihannya: main games, atau menonton. Iya kalau tidak terjerat judi online atau kenakalan yang lain.

Mendalami ilmu agama, tapi kok pesantren libur?

Ini yang menggelitik. Kalau mau mendalami ilmu agama, harusnya porsinya ditingkatkan, bukan malah diliburkan. Jika diliburkan, darimana, siapa yang mau mendampingi murid mendalami agama?

Sekolah setengah hari menjadi alternatif

Meski Menag beralibi, libur sebulan bisa memberi kesempatan pada murid untuk lebih mendalami ilmu agama dengan lebih khusuk, hal ini tidak otomatis terwujud dalam diri murid. Godaan game online dan konten di media sosial lebih kuat dibandingkan niat untuk beribadah.

Apa yang dilakukan anak sepulang sekolah? Bermain dengan teman, atau bermain game. Masa mau belajar terus? Jika libur selama sebulan, maka anak berpeluang mendapat akses tak terbatas untuk terjerumus dalam konten-konten negatif dari media sosial. Lagi pula, apa pekerjaan gurunya jika muridnya libur sebulan penuh?

Sekolah setengah hari menjadi alternatif. Di sekolahku sudah biasa menerapkan hal ini. Intinya, anak-anak tetap mendapatkan materi pembelajaran, bisa bersosialisasi dengan teman-teman di sekolah, dan tetap ada disiplin untuk bangun pagi.

Sepulang sekolah, anak-anak punya cukup waktu untuk beristirahat dan menyiapkan diri untuk ibadah tarawih maupun menghafal Al-Quran. Anak-anak yang non-muslim juga bisa melakukan ibadah sesuai keyakinannya masing-masing tanpa kehilangan haknya mendapatkan pembelajaran di sekolah. Semoga pemerintah mengkaji secara mendalam sebelum memutuskan.  –KRAISWAN 

Referensi: 1, 2, 3, 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun