Setiap kita, pasti pernah mengalami kehilangan. Orang tersayang, benda berharga, atau bahkan kehilangan kesempatan. Asalkan jangan kehilangan harapan, ya!
Istriku pernah kehilangan dua oppung (kakek) dalam waktu berdekatan. Aku juga pernah kehilangan kakek saat kuliah. Sedangkan aku tak punya kenangan tentang nenek.
Momen kehilangan biasanya melahirkan perasaan sedih, terluka, bahkan trauma. Misalnya kehilangan (baca: ditinggalkan) gebetan pas lagi sayang-sayangnya, hasyah. Bagaimana pun, kehilangan orang terkasih (meninggal) adalah momen yang paling menyakitkan. Sebab tidak akan pernah berjumpa lagi di bumi. Kalau cuma ditinggal gebetan mah, sepele itu. Kalau dia sayang sama kamu, tak akan meninggalkan dengan alasan apa pun.
Bagaimana dengan kehilangan barang? Itu juga sepele, asalkan ada uang untuk beli barang yang baru. Betul? Tapi tetap bisa dibeli kan, tak soal jika dengan sistem pay later atau berhutang, hehe.
Aku pernah kehilangan helm merek bagus warna pink kesukaanku. Aku tinggalkan di teras depan toko, bo*ohnya aku. Padahal helm itu aku beli dengan mengumpulkan uang les saat mahasiswa. Aku juga pernah kehilangan jaket dan kemeja kesayangan yang aku beli dari uang tabungan.
Beberapa minggu yang lalu, sendal anak kami (keduanya pula) jatuh saat dibonceng istriku, padahal anak kami dipegangi oleh adik sepupu. Meski kami cari saat kembali, tidak ketemu. Aku juga menjatuhkan satu sepatu istri yang aku selipkan di dasbor motor, diantara barang lain yang dibawa. Sudah aku cek lagi di jalan, nihil.
Istriku tentu sedih, sebab sepatu itu salah satu kesayangannya. Masih bagus dan masih muat di kakinya. Aku lebih sedih, karena belum bisa membelikan yang baru. Ada-ada saja momen kehilangan ini...
***
Dalam kitab Lukas, Yesus memberi perumpamaan tentang anak yang hilang. Ceritanya ada dua lelaki bersaudara. Si bungsu meminta jatah warisan kepada ayahnya, padahal ayahnya masih sehat. Perbuatan yang sangat kurang ajar.
Dengan harta ini, dia merantau ke kota lain dan berfoya-foya. Singkat cerita, uangnya habis. Ia bekerja di sebuah peternakan dan meminta pakan ternak saking laparnya. Padahal di rumah ayahnya, para pekerjanya mendapat makanan lezat.
Menyadari kesalahannya, ia nekat pulang ke rumah. Tak peduli jika dimarahi, dikutuk, bahkan jika dicoret dari KK. Dia ingin bertobat dan meminta ampun kepada ayahnya. Namun, sekali ini, dia salah. Alih-alih dihujat atau dihukum, dia diterima dengan tangan terbuka oleh sang ayah.
Lukas 15:32 (TB) Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali."
***
Beberapa hari berlalu. Saat istriku pergi ke rumah Om di kampung, dia menerima kabar baik. Satu sisi sepatunya ditemukan Om. Wah, senangnya! Begitu kok ya Om ini tidak segera mengabari. Tapi, yang penting sepatunya sudah ketemu. Istriku senang, aku ikut girang, tak harus membelikan sepatu baru, hehe.
Jika anak bungsu yang kurang ajar dan durhaka (hilang) pun bisa kembali ditemukan (diterima kembali), boro-boro cuma sepatu. Uang bisa dicari lagi, kalau ditabung bisa juga untuk membelikan sepatu buat istriku. Namun, Tuhan masih mengizinkan sepatu itu kembali dipakai istriku. Belum saatnya beli yang baru. Puji Tuhan!
Bagaimana dengan kita?
Adakah saat ini kita kita jatuh dan terhilang? Mari, sadari kesalahan, bertobat dan kembali pulang. Bapak kita yang penuh kasih menunggu kita dengan tangan terbuka. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H