Barang bukti, keterangan para saksi, kejadian yang di luar kebiasaan bisa menjadi bukti bagi seorang detektif untuk memecahkan kasus. Bahkan, sehelai rambut yang jatuh bisa menjadi barang bukti yang penting.
Aku suka nonton film petualangan dan detektif dibanding drakor yang menularkan perasaan baper. Imajinasi dan cara berpikir para tokoh dalam film detektif merepresentasikan kecerdasannya dalam mengolah semua data dan informasi untuk memecahkan kasus dan menemukan pelaku (biasanya kasus pembunuhan).
Selain One Piece, salah satu anime yang aku suka adalah Detective Conan. Oleh temanku--seorang penggemar anime, aku mendapat informasi akun Youtube yang mengunggah banyak episode Detective Conan (di sini). Maka, di waktu senggang aku sempatkan nonton 1-2 episode.
Aku membayangkan, betapa cerdasnya seorang yang berprofesi sebagai detektif. Tidak hanya kemampuan mengolah informasi, insting dan nurani dibutuhkan dalam menangani kasus. Bahkan ada pula film detektif yang menampilkan, tokohnya punya indera keenam sehingga bisa tahu fakta yang tak terlihat oleh mata. Keren ya!Â
Suatu hari, di kelasku ada kasus yang misterius. Meski ada CCTV di kelas, rasanya tidak cukup. Melainkan dibutuhkan seorang detektif untuk memecahkan kasus ini. Begini ceritanya...
Aku hendak membagikan teks pidato yang telah ditulis murid-murid beberapa hari sebelumnya. Aku izinkan mereka mempelajari teks tersebut sebelum dibacakan (tugas praktik) di depan teman-temannya di kelas. Seperti biasa, sebelum membagikan pada murid, aku menghitung, memastikan jumlahnya sesuai. Mengantisipiasi supaya tidak ada yang tertinggal, jatuh, atau terselip di tempat lain.
Ada 21 murid dalam satu kelas. Pada hari  yang aku tentukan untuk menulis teks, satu murid tidak masuk, jadi belum mengerjakan. Satu murid lainnya sudah menulis tapi tidak lengkap, sehingga aku memintanya melengkapi. Praktis, ada 19 teks yang dikumpulkan padaku, betul? Tidak perlu kemampuan detektif untuk memahami hal ini.
Aku membagi teks pidato tersebut menjadi dua, kuberikan kepada dua murid perempuan untuk dibagikan kepada teman-temannya. Aku berpesan supaya teman-temannya dengan pasti menerima teks tersebut.Â
Lima menit kemudian...
Seorang murid laki-laki (sebut saja Joko) mengeluh belum mendapatkan teksnya. Kok bisa...? Aku meminta murid itu bertanya pada dua teman perempuan yang bertugas membagikan, sebut saja Cindy dan Dian. Kedua murid perempuan ini sudah membagikan teks sesuai nama temannya, tapi milik Joko tidak ada. Misterius...