Zamanku dulu, mau mengungkapkan perasaan pada lawan jenis adalah hal tabu. Hanya mereka yang super PD yang bisa melakukannya.
Kelas 6 SD, aku mulai merasakan ketertarikan pada lawan jenis. Namun belum berani mengungkapkan perasaan. Lagi pula, cinta adalah hal yang abstrak. Saat ini, anak kelas 1 SD pun sudah tahu crush-crush-an.
Maka, dalam segala perkembangan tumbuh kembang anak di tengah serangan medsos, baiknya orang tua terus memberi pengawasan. Apakah anaknya sudah puber, sudah tertarik dengan lawan jenis, dan seterusnya.
Masalahnya, anak sekarang makin eksklusif. Tidak mau cerita pada orang tua, entah karena gap generasi. Anak justru terbuka pada teman sebaya, yang dianggap nyambung kalau bicara, dan bisa menjaga rahasia.
Takut jika tidak tertarik dengan lawan jenis
Di sisi lain, orang tua murid kelas 6 juga merasa was-was. Saat anak yang lain sudah merasa tertarik pada lawan jenis, anaknya tidak. Apakah ini normal?
Padahal dinamika tiap anak berbeda, bergantung karakter dan perkembangannya. Ada yang mudah mengungkapkan perasaan, ada yang sulit. Tidak menunjukkan tertarik pada lawan jenis bukan berarti abnormal.
Beberapa orang tua menyampaikan, tak apa anak tertarik pada lawan jenis. Itu hal normal. Betul normal, bukan berarti dibiarkan seperti batang singkong yang tumbuh asal dilempar. Beberapa tipe anak tidak siap dengan sakit hati. Kalau anak-anak terjebak pada crush, lalu kecewa dan sakit hati, repot untuk perkembangan mental anak.
Sudah punya crush, main bareng aja masih suka nangis
Anakku berusia 3 tahun, tak mau dibilang bayi. Tapi masih suka menangis. Padahal, anak bayi hobinya menangis. Minta ini tak dituruti, menangis. Mengantuk, menangis. Mau terus main padahal waktunya mandi, menangis.
Anak SD masih suka main bareng. Mulanya semua pihak bahagia. Entah bagaimana, tiba-tiba menangis. Begitu kok pamer crush. Kalau salah, betulan bisa menghancurkan fokus dan konsentrasi belajar.