Anda sudah punya anak sekolah? Pernahkah anak melontarkan kata "crush"? Apa itu crush?
Secara harafiah, "crush" berarti menghancurkan atau memukul. Bagi generasi milenial, kata "crush" memiliki arti perasaan suka yang kuat pada seseorang, terutama dalam konteks percintaan. "Crush" juga bisa diartikan gebetan atau orang yang disukai.Â
Contohnya, "I have a crush on you" yang berarti "aku naksir sama kamu". "Crush" tidak selalu bersifat romantis. "Crush" bisa juga berarti kekaguman pada seseorang, seperti teman sekolah, teman kerja. Tapi lama-lama teman mesra kan bahaya.
Drama Korea yang bertema percintaan sering menggunakan istilah "crush" dalam konteks romantis. Istilah ini kemudian dipopulerkan di medsos seperti Tiktok juga mengutip frasa ini. Anak milenial, usia SD pun, sudah familiar dengan kata crush. Sebab, mereka hidup di era medsos.
Tak heran, dalam keseharian di sekolah mereka sudah berlomba-lomba membahas, atau mempresentasikan siapa crush mereka.
Biasanya para murid cewek yang termenye-menye (tergila-gila) dengan cowok yang tinggi, ganteng, pintar, jago olahraga, putih seperti di drakor-drakor itu. Lalu, mereka mengklaim cowok tersebut sebagai crush-nya, biasanya kakak kelas.
Sudah crush dengan seseorang, eh si cowok tidak tahu, melirik pun tidak. Rasanya tuh...
Kalau hanya bercanda dan basa-basi sih tak mengapa. Tapi kalau crush ini sudah dibawa saat pelajaran di kelas, jadinya mengganggu. Anak tidak konsentrasi, tidak menangkap materi, ujungnya pelajarannya mubazir.
Perlunya pengawasan orang tua
Zamanku dulu, mau mengungkapkan perasaan pada lawan jenis adalah hal tabu. Hanya mereka yang super PD yang bisa melakukannya.
Kelas 6 SD, aku mulai merasakan ketertarikan pada lawan jenis. Namun belum berani mengungkapkan perasaan. Lagi pula, cinta adalah hal yang abstrak. Saat ini, anak kelas 1 SD pun sudah tahu crush-crush-an.
Maka, dalam segala perkembangan tumbuh kembang anak di tengah serangan medsos, baiknya orang tua terus memberi pengawasan. Apakah anaknya sudah puber, sudah tertarik dengan lawan jenis, dan seterusnya.
Masalahnya, anak sekarang makin eksklusif. Tidak mau cerita pada orang tua, entah karena gap generasi. Anak justru terbuka pada teman sebaya, yang dianggap nyambung kalau bicara, dan bisa menjaga rahasia.
Takut jika tidak tertarik dengan lawan jenis
Di sisi lain, orang tua murid kelas 6 juga merasa was-was. Saat anak yang lain sudah merasa tertarik pada lawan jenis, anaknya tidak. Apakah ini normal?
Padahal dinamika tiap anak berbeda, bergantung karakter dan perkembangannya. Ada yang mudah mengungkapkan perasaan, ada yang sulit. Tidak menunjukkan tertarik pada lawan jenis bukan berarti abnormal.
Beberapa orang tua menyampaikan, tak apa anak tertarik pada lawan jenis. Itu hal normal. Betul normal, bukan berarti dibiarkan seperti batang singkong yang tumbuh asal dilempar. Beberapa tipe anak tidak siap dengan sakit hati. Kalau anak-anak terjebak pada crush, lalu kecewa dan sakit hati, repot untuk perkembangan mental anak.
Sudah punya crush, main bareng aja masih suka nangis
Anakku berusia 3 tahun, tak mau dibilang bayi. Tapi masih suka menangis. Padahal, anak bayi hobinya menangis. Minta ini tak dituruti, menangis. Mengantuk, menangis. Mau terus main padahal waktunya mandi, menangis.
Anak SD masih suka main bareng. Mulanya semua pihak bahagia. Entah bagaimana, tiba-tiba menangis. Begitu kok pamer crush. Kalau salah, betulan bisa menghancurkan fokus dan konsentrasi belajar.
Kisah cinta yang bahagia hanya ada di drama Korea (drakor). Jadi kalau anak mengejar crush karena nonton drakor, itu cuma ilusi. Sebaiknya berteman secara wajar. Lebih penting, orang tua perlu mengusahakan komunikasi terbuka terhadap anak. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H