Banyak anak, banyak rezeki, kata orang tua era 70-an. Kalau zaman now, banyak anak malah tambah masalah. Setuju?
***
Sejak pacaran (=persiapan menikah) kami sudah membahas banyak hal, termasuk tentang anak. Nanti mau punya anak berapa? "Seberapa yang Tuhan percayakanlah," ujar istriku. Bukan membatasi kuasa Tuhan, tapi mau dikasih makan apa anaknya? Gile aje!
Beda dengan era orang tua kita, anak bisa diberi makan dari hasil kebun, kebutuhan belum aneh-aneh. Lagi pula lahan pertanian masih luas. Sekarang? Parkir aja bayar.
Jadi, mau punya anak berapa? Satu, tiga, lima?
Jelasnya, jika Tuhan mempercayakan keturunan kami tidak ingin hanya punya satu anak. Pertama, untuk melestarikan keturunan. Kedua, supaya ada teman "berantem". Ketiga, supaya anak belajar berbagi. Keempat, supaya orang tua tidak memanjakan anak. (Biasanya anak tunggal sangat disayang, sampai dimanja.)
Prinsip dalam keluarga
Pacaran adalah masa orang jatuh cinta. Sedangkan pernikahan adalah masa membangun cinta. Masa pacaran biasanya didominasi oleh perasaan kasmaran dan bersenang-senang. Bicara menikah, banyak tugas, beban, dan peran yang harus diemban. Meski berat, harus membangun cinta bersama pasangan. Maka, #1 penting untuk menemukan pasangan hidup yang sepadan.
Sebelum membahas anak, bahas dulu keuangan. Sepakati #2 siapa yang akan bekerja, suami-istri atau salah satunya? Jika yang bekerja salah satu, mana cukup? Jika kerja keduanya, siapa yang mengurus anak? Helper?
Jika hanya suami yang bekerja dan gajinya sudah mencukupi keluarga tidak masalah. Tapi, istri kan juga ingin bekerja. Nah, kembali pada #1.
Aku dan istri sepakat, aku akan menjadi penafkah utama. Istri mengurus anak dan rumah tangga, sambil mengerjakan usaha sampingan. Emang cukup...? Sampai detik ini kami tidak pernah kelaparan.
Anak kami hampir tiga tahun. Beberapa teman menggoda, adiknya kapan nih? Wah.... Urusan punya anak ini rumit, melibatkan banyak hal, banyak pihak, dan kepentingan.
Berapa jarak ideal untuk punya anak? Setahun, dua, lima? Jawaban paling tepat adalah sesiapnya Ayah, Bunda dan anak. Ya siap mental, dompet, dan mental sang anak. Banyak anak yang jika ditanya tidak mau punya adik. Jawabannya beragam. Tidak ingin kasih orang tua terbagi, tidak ingin direpotkan seperti anak tetangga.
Orang tua memegang peran
Aku dua bersaudara (adik cewek), istriku empat bersaudara (2 cowok-2 cewek), kami sama anak sulung. Meski lahir dan dibesarkan dari pulau, adat, dan nilai berbeda, ada kemiripan tentang hubungan bersaudara. Meski sering berantem, bahkan ada rasa iri, punya saudara itu menyenangkan. Kalau ketemu berantem, kalau berjauhan kangen. #3 Kalau punya saudara, susah senang ada temannya.
Aku dan istri menganggap anak adalah pribadi yang harus dihargai pendapat, pikiran, dan perasaannya. Maka, kami melibatkan anak dalam setiap urusan keluarga sedini mungkin. Dari memilih baju sampai mengelap lantai.
Saat di rumah teman atau di Sekolah Minggu, anak masih sulit berbagi, tapi maunya meminta makanan atau mainan teman. "Wah, #4 harus punya adik nih, biar belajar berbagi," ujar seorang guru Sekolah Minggu.
"Bang, kamu mau punya adik, ndak?"
Demikian tanyaku pada batita ini. "Iya," katanya. Entah "iya" mengerti atau asal jawab. Kalau program anak sekarang, maka jarak dengan abangnya nanti bakal 4 tahun.Â
Buat indikator kesiapan anak
Selain orang tua, kesiapan anak juga penting diperhatikan. Kami membuat beberapa indikator: 1) Lepas popok, 2) Tidak lagi minum di botol, 3) Bisa diajari mandiri. So far, ketiga indikator itu sudah terpenuhi. Kantong bapaknya yang belum mengizinkan, hehe.
Maka, kami terus mendoakan, supaya kami diberi hikmat untuk program anak kedua. Bagaimana dengan Ayah-Bunda? --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H