Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Akhirnya Anakku Main HP Juga, Orang Tua Gagal (?)

26 September 2024   11:01 Diperbarui: 26 September 2024   11:03 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak menonton di HP | foto: alodokter.com

Di era digital, kesuksesan orang tua adalah saat mendapati anaknya hidup jujur. Nilai ulangannya juga di atas 90. Bagi orang tua balita, suksesnya yakni jika tidak memberi anak HP untuk menonton--setidaknya bagi kami.

Maka, beberapa artikel aku tulis sebagai "prestasi" kami sebagai orang tua yang tidak menyerahkan anak pada HP sejak dini. Tapi, apa jadinya kalau belakangan anakku akhirnya main HP juga. Berarti kami gagal...?

Kebutuhan anak: diperhatikan/menonton?

Pada hakekatnya, diakui eksistensinya adalah kebutuhan setiap manusia. Jika kurang, mereka akan mencari perhatian dengan membuat ulah yang mencolok, kadang mengganggu. Naik ke kursi, melempar hingga menarik-narik barang, berteriak, memainkan saklar lampu, menangis, maupun merebut mainan teman. Lalu, orang tua melabelinya "nakal".

Secara usia, emosional anak-anak belum matang. Dengan cara-cara itulah yang mereka tahu untuk mendapat perhatian. Maka, orang tua harus peka memenuhi kebutuhan tersebut.

Biasanya, anak zaman sekarang paling senang menonton Youtube di HP. "Youtube lebih interaktif dibanding orang tua," begitu ujar seseorang. Jika orang tua tidak mau menemani anak bermain, tidak mau menikmati waktu bersama anak, Youtube jelas lebih menarik.

Padahal kebutuhan utama anak diperhatikan, bukan menonton. Menonton sekedar pelarian anak karena kurang diperhatikan. Beberapa waktu lalu, viral video anak yang saraf matanya rusak karena menonton di HP terlalu lama. Dampak lain yang tak kalah mengkhawatirkan, anak yang terlalu banyak nonton bisa speak delay dan membentuk imajinasi yang negatif akibat konten tidak mendidik (kekerasan misalnya). Ironis. 

Sudah ditahan, akhirnya nonton juga

Menyadari ancaman dan bahaya dari nonton di HP, aku dan istri membatasi kontak anak pada HP. Maka, jika kami memakai HP di rumah untuk membalas chat WA misalnya, harus sembunyi dari anak, atau saat anak asyik bermain. Kalau ada pertemuan di gereja, atau pertemuan kelompok jemaat, kemarin-kemarin kami bawakan mainan, buku bacaan, sampai lembar mewarnai.

Seiring berkembangnya usia dan pikirannya, ia makin sulit ditahan (baca: diatur). Ia naik-naik ke kursi, menarik-narik kursi, pernah memecahkan gelas, atau jika tidak merengek minta menonton di HP.

Di sinilah kami dilematis. Mau diberi HP, melanggar kesepakatan kami. Tidak diberi HP, jadi berisik dan mengganggu jemaat saat renungan disampaikan. Demi kenyamanan seluruh rakyat Indonesia, kami izinkan anak menonton HP. Terpaksa.

Boleh lelah, menyerah jangan

Dalam kurun waktu satu minggu, anak bisa minta nonton setiap hari. Akalnya juga makin bertambah, ia bisa meniru dan memanipulasi perkataan kami. Terinspirasi dari pola kami memberi makan sambil menonton sebentar. "Mama, kita nonton sebentar, sambil makan." 

Agar adil, aku dan istri izinkan anak menonton film dari laptop. Dari banyak opsi, yang dipilihnya Kungfu Panda dan Bumblebee. Mungkin karena banyak adegan bertarung. (Dampak: ia jadi suka pukul-pukul dan menembak sambil berteriak-teriak). See? Hanya nonton seminggu sekali pun, terus diingatnya. Bayangkan jika setiap hari pegang HP! Namun, ada kalanya "Hari ini tidak nonton sama sekali," lapor istriku.

Mengasuh batita tanpa HP memang membuat lelah, tapi menyerah jangan.

Sering melibatkan anak

Belajar dari masa kecilku yang kurang membahagiakan, aku ingin anakku berkembang secara holistik. Caranya dengan melibatkannya dalam keseharian. Misalnya, saat istri berbelanja anak diajak. Di jalan, ia bisa mengabsen nama-nama kendaraan yang berpapasan. Ia juga atraktif pada suara mesin parut kelapa. Biasanya, ia akan minta berhenti melihat ekskavator dan buldozer di proyek dekat rumah.

Ia sudah bisa membuka dan menutup gerbang rumah. Padahal usianya belum tiga tahun, dan gerbang besi itu tak kurang dari 100 kg. Kami yang dewasa pun kadang payah membukanya. Saat istri memasak, ia ikut meracik adonan. Saat aku menukang, ia ikut memegang palu, gergaji dan meteran.

Anak generasi now lebih tinggi rasa ingin tahunya, dan kreatif pikirannya. Kami tidak ingin membatasinya dengan banyak larangan ini-itu. Kami izinkan dia menyentuh barang-barang sambil mengasawinya. Untuk benda tajam, tentu kami jauhkan. Ini lebih baik untuk perkembangannya, daripada memberikan HP untuk menonton. --KRAISWAN

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun