Calistung (baca tulis hitung) menjadi program wajib bagi anak-anak dalam transisi TK ke SD.
Di sekolahku pun, sebulan pertama pembelajarannya calistung. Sebab, selama di TK kegiatannya banyak bermain, tidak boleh menulis. Tapi begitu masuk SD harus bisa menulis. Waduh...
Namun, gap lintas jenjang semacam ini justru memberi peluang bagi guru. Ada kesempatan di balik hambatan. Memberikan les calistung, misalnya.
Aku berkesempatan ngelesi sejak masih mahasiswa. Baik grup maupun privat. Sejak saat itu hingga bekerja, aku ngelesi untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia jenjang SMP atau SMA. Di sekolah, aku juga diberi jam mengajar untuk kelas besar (kelas 5 atau 6).
Suatu hari, kakak alumni merekomendasikanku untuk memberi les pada anak kelas 1 SD, pelajaran calistung.
Emang bisa?
Aku teringat masa PPL (Praktik Pengalaman Lapangan). Presentasi di kelas, di depan dosen dan teman-teman mahasiswa pun lidah kaku bak kanebo kering. Tak lebih terang dari suara kumur-kumur.
Aku bersama tiga orang teman PPL di sebuah SMP. Dengan bimbingan guru pamong, beberapa kali observasi saat guru mengajar, kami pun "dipaksa" mengajar. Calon guru masa takut ngajar?
Mau mengajar calistung untuk kelas 1 itu mirip dengan saat pertama kali mau mengajar di depan murid-murid SMP. Semua hal yang pertama kali selalu memiliki kesan khusus.
Bedanya, karena sudah bertahun-tahun mengajar, jadi sudah ada bekal. Tinggal menyesuaikan, dan harus terus belajar. Berikut ini strategiku mengajar calistung.