Beberapa hari ini langit sekitar domisiliku nampak mendung, namun tak kunjung hujan. Pertanda apakah ini?
Sudah setahun ini pergantian musim di Bumi menjadi kacau. Waktunya musim kemarau masih turun hujan. Sebaliknya, waktunya musim hujan, panas berkepanjangan. Iklim menjadi tidak seimbang akibat ulah manusia sendiri.
***
Hari Minggu kemarin, sepulang mengantar anak ke Sekolah Minggu, kami membeli soto (favorit kami), dibungkus untuk dimakan di rumah. Selesai sarapan, aku segera mengantar anak untuk dititipkan ke tempat Mbah. Aku ada pekerjaan yang harus diselesaikan, sedang istriku ada pertemuan kelompok kecil dengan adik-adik mahasiswa.
Sekitar jam 1 siiang, langit di kejauhan sudah bermuka muram, mendung. Meski sinar matahari masih cerah mewarnai langit di atas kompleks kami. Aku pun memperingatkan istriku, agar berjaga-jaga jika datang hujan. Sebab ia akan melakukan pertemuan outdoor.Â
Aku kerjakan tugasku (mengoreksi tes murid), dan beberes rumah sebisanya. Begitu selesai, aku mandi, ganti baju dan bersiap memesan ojeg online ke gereja. Motor hanya satu, dibawa istri.
Terbiasa dengan kendaraan pribadi, aku kurang nyaman pesan ojeg online. Hanya memesan hanya jika butuh dan sangat terpaksa. Namun, aku ditegur dalam hati. Sesekali perlu naik kendaraan umum, siapa tahu menjadi rezeki buat bapak driver. Betul juga ya. Lagi pula, saldo G*pay sudah terisi dari K-reward Kompasiana, hehe. Terima kasih Kompasiana.
Perjalanan dari rumah ke gereja perlu setidaknya 10 menit. Bapak ojegnya mengendarai dengan santai demi kenyamanan penumpang. Tiba di trotoar depan gereja, aku mengucapkan terima kasih pada bapaknya. "Terima kasih, Mas. Tuhan memberkati." balasnya. Wah, aku yang mau beribadah malah dia yang mengucapkan kalimat berkat padaku. Terima kasih, Pak. Semoga pekerjaannya selalu berkah.Â
Langit makin mendung saat aku tiba di gereja. Istriku sudah tiba. Kami pun masuk bersama ke dalam gedung gereja. Ada jeda sekitar sepuluh menit sebelum ibadah dimulai. Kami masih bisa membuka HP untuk membalas pesan masuk.
Lonceng berdentang, ibadah pun dimulai. Lagu-lagu dan liturgi ibadah dijalankan. Judul khotbah adalah Menjadi Gereja dan Sekolah Misional dalam rangka penutupan Pepenkris (pekan pendidikan Kristen) di gerejaku. Intinya, Pak Pendeta menyampaikan bahwa memberitakan Injil bukan hanya tugas sekolah dan pengurus sekolah Kristen, melainkan tugas kita semua, khususnya gereja.
Tugas yang Tuhan berikan untuk memberitakan Injil ini bukan pilihan, tapi kewajiban. Tidak bisa menolak. Harus dilakukan semua orang percaya yang telah menerima anugerah keselamatan dalam Yesus. Entah di sekolah, di tempat kerja, di dalam rumah, maupun di masyarakat berita baik harus terus disebarluaskan.
Aku berprofesi sebagai guru, sedang istri mengurus anak rumah tangga. Di sekolah, aku tidak hanya mengajar pengetahuan pada murid, melainkan juga mengajarkan nilai-nilai kebenaran seperti yang diajarkan Alkitab.Â
Di rumah, aku mengajarkan etika dasar dan membacakan cerita Alkitab. Membaca buku-buku bergambar dino, hewan-hewan maupun ensiklopedia sudah biasa. Anak kami sudah hapal. Ringkasnya, dalam porsi terkecil aku dan istri terus belajar memberitakan berita baik kepada orang lain, terlebih pada anak kami.
Saat Pendeta menyampaikan khotbah dengan menggebu-gebu itu, datanglah hujan. Mulanya lembut, lalu makin deras, dan betulan deras sampai ibadah selesai. Sejak saat itu, pikiranku berkecamuk. Rumahku apa kabar...???
Aku tinggal di kompleks perumahan menengah. Bocor menjadi menu wajib setiap datang musim hujan. Ya rumahku yang belum direnovasi, ya rumah tetangga yang baru direnovasi; pasti bocor!
Tetangga sebelahku sedang membangun ulang rumahnya. Oleh pemborong, tembok batas rumah kami dipakai bersama. Celah genting rumahku dengan tembok tetangga masih mengaga. Aku belum ada kesempatan mengobrol pada tukangnya.Â
Pakaian, buku-buku, peralatan elektronik dan benda-benda di dekat tembok tetangga, pasti basah total! Setelah ini aku akan menghubungi tetangga pemilik rumah itu untuk protes rasanya.
Sudah membahana suara Pendeta, masih lebih mengusik pikiran negatif di dalam kepalaku, mengingat nasib barang-barang di rumah yang terkena bocor. Salahmu karena kemarin waktu masih kemarau tidak diurus! tuduhku pada diri sendiri.
Hei, mau kamu pikir seberat apa pun, kau tidak bisa merubah keadaan. Kalau basah, ya basah saja. Semoga saja tidak banyak yang basah. Demikian teguran dalam kepalaku.
Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? Matius 6:27
Aku berusaha memusatkan pikiranku pada khotbah. Ibadah pun selesai. Hujan masih deras, kami menunggu sebentar sampai hujan agak reda. Tiba di rumah... Kebocorannya wajar. Pakaian, peralatan elektronik, dan barang-barang lainny aman. Begitulah, ternyata pikiran negatif lebih berbahaya dari rumah yang bocor. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H