Bu Mus pun terkejut. Tak pernah sebelumnya ia mendapat tanggapan selugas itu dari muridnya. Selain menjadi denyut jantung SD Muhammadiyah, beliau ingin menegakkan pilar keadilan di sekolah ini. Maka beliau meminta kami menuliskan nama ketua kelas yang baru di selembar kertas, kecuali Harun yang tak bisa menulis.
Kucai riang bukan kepalang. Ia merasa telah mendapat keadilan dan menganggap bahwa deritanya sebagai ketua kelas akan segera berakhir. Suasana kelas menjadi gugup menunggu detik-detik penghitungan suara. Tak kalah mendebarkan dari penghitungan suara pemilihan presiden.
Sembilan gulungan kertas di tangan Bu Mus. Beliau sendiri pun gugup. Gulungan pertama dibuka.Â
"Borek!" Borek pucat, Kucai melonjak girang. Jelas ia yang menulis nama Borek, kawan sebangku yang seperti pasien rumah sakit jiwa. Gulungan kedua. "Kucai!"
"Kucai!"Â
"Kucai!"
Kucai pucat, lemas, dan mau pingsan. Begitu seterusnya sampai gulungan kertas ke sembilan. Bu Mus beralih pada Harun, yang lalu mengeluarkan senyum khas. "Kucai!" Kucai terpuruk.
Hari ini kami mendapat pelajaran penting tentang demokrasi. Ternyata prinsip-prinsipnya tidak efektif untuk jabatan kering seperti ketua kelas di sekolah miskin ini.
***
Lain di Belitong, lain pula di kota-kota besar seperti Jakarta. Di Belitong, khususnya di SD Muhammadiyah jabatan ketua kelas tidak diinginkan siapa pun. Di Jakarta, jabatan kepala daerah, gubernur sampai presiden diperebutkan tak urusan jika mencemari demokrasi. Kalau perlu, ubah aturannya agar bisa menjabat. Dimulai dari fenomena MK: "Membantu Keponakan". --KRAISWAN
Catatan:
Sebagian kalimat dikutip dari novel Laskar Pelangi (Andrea Hirata)