Mengajar adalah pekerjaan yang menyenangkan, kalau kecintaannya (panggilan) memang mengajar. Tak kalah penting, pembelajarannya harus menyenangkan.
Administrasi banyak, jam mengajar padat, belum absen di PMM, mengunggah aksi nyata (program Guru Penggerak)... Mana bisa menyiapkan pembelajaran yang menyenangkan?
Itulah perjuangan kita saat ini, wahai guru hebat!
Dua tahun terakhir, aku didapuk menjadi guru Tematik (K-13) yang mana harus mengajar 3 JP x 2 kelas setiap hari. Bagaimana perasaan para murid? Tak usahlah ditanya, bosan.
"Mr bosan ndak ngajar kita yang ramai kayak gini?" goda seorang murid. Kalau mr bosan ngajar kalian, mr sekeluarga tidak makan, Nak! Kelak, setelah lulus SD mereka terngiang-ngiang dan kangen belajar Tematik. Memang ya...
***
Suatu hari, aku tidak masuk ke sekolah. Aku harus menyiapkan materi dan lesson plan (RPP) sebagai panduan untuk guru pengganti 'menaklukkan' murid-murid di kelas. Berkas itu aku titipkan pada wakil kepala sekolah, untuk kemudian diberikan kepada guru pengganti.
Belum juga gurunya masuk kelas, datang komentar dari Wakasek (by WA chat), "Mr, ini tidak ada opening-nya, ice breaking gitu?" Umm.... Itu adalah pertanyaan paling susah untuk dijawab.
Begitulah. Rutinitas mengajar setiap hari membuat otakku beku seperti es. Susah cair, tidak bisa melahirkan ide-ide kreatif untuk menyajikan pembelajaran menyenangkan di kelas. Kerjaannya banyak, tugasnya juga banyak. Alasan. Padahal jam mengajarnya melimpah.
Namun itu dulu. Kini aku mulai bertobat. Semenjak mengikuti workshop Implementasi Kurikulum Merdeka, aku makin bertambah ilmu dan wawasan.
Salah satu yang disorot adalah tentang keberagaman murid di kelas. Cara belajar siswa dibagi menjadi tiga, yakni visual, audio, dan kinestetik. Atau bahkan kombinasi dari ketiganya.
Untuk anak-anak visual, ceramah searah dari guru sepuluh menit saja, adalah siksaan. Rasanya jarum merah pada jam di dinding tidak bergerak. Waktu terhenti. Bosan!
Demikian juga untuk anak-anak pembelajar kinestetik, menulis adalah pekerjaan yang lebih menyiksa dibanding membantu mencuci piring dan mengepel. Tidak bisakah sekolah menjadi lebih menyenangkan...?
Oleh sebab itu, aku mulai mencari di Youtube, ide ice breaking yang cocok diterapkan di kelas. Syaratnya, durasi waktu tidak lebih dari 5 menit, mudah dipraktikkan, dan menyenangkan bagi siswa. Salah satu bentuknya adalah menari bersama dengan lagu-lagu sederhana dan temanya ceria. (Note: jangan hanya yang menyenangkan dan menghibur ya, sebab ada juga gerakan yang kurang pantas untuk anak SD.)
Bersyukur kepada Tuhan untuk kemajuan teknologi saat ini. Terima kasih untuk para konten kreator yang menyediakan konten-konten yang bermanfaat bagi guru maupun murid.
Di sekolahku, ada mapel tertentu yang bobot jam pelajarannya lebih besar. Seperti Bahasa Indonesia dan Pendidikan Pancasila misalnya, masing-masing mendapat porsi 6 JP dan 3 JP/minggu. Satu pertemuan ada yang langsung 3 JP. Kalau tidak diberi ice breaking, siap-siap ditinggal tidur atau bermain sendiri!
Dari Youtube, aku menemukan salah satu ice breaking menari dengan judul "Diputar-putar" ciptaan Sinung Widodo. Ice break ini disajikan untuk para pegawai di suatu lembaga. Tapi masih terasa cocok dipraktikkan bagi murid-murid SD juga.
"Sebelum belajar, ayo semua berdiri dari bangku. Kita akan senam bersama!" ujarku lantang di kelas. Sontak, anak-anak mengikuti gerakan di video yang aku putarkan. Kebanyakan mereka langsung antusias, bahkan mengimprovisasi dengan membuat gerakan sendiri.
Apakah semua anak mau menari? Tidak. Ice breaking macam ini cocok untuk pembelajar tipe kinestetik, bukan untuk audio-visual yang suka menulis atau membaca. Tapi, tetap saja ini diperlukan untuk mengakomodir murid-murid yang tipe kinestetik. Kalau energinya sudah tersalurkan, mereka tidak akan banyak berjalan-jalan, usil dengan temannya saat pelajaran.
Ada juga video lain yang berjudul Monkey Dance yang diperagakan oleh mahasiswa PNK (Politeknik Keuangan Negara) STAN. Khususnya mahasiswa cowok, bisa menari dengan sangat lihai, tapi lucu. Lagunya ceria, gerakannya beragam dan mudah diikuti. Murid mana yang sanggup berdiam diri?
Setelah melakukan ice breaking, setidaknya semangat para murid sudah terisi. Mereka siap untuk mengikuti pembelajaran 2-3 JP ke depan. Selalu lancar? Tidak juga. Tapi keberagaman kegiatan di kelas ini tentu memberi peluang pada anak yang memiliki keberagaman cara belajar. Jadi tidak monoton mendengar guru berbicara, membaca, maupun menulis.
Keberagaman ini juga yang kita perlu terapkan dalam pengambilan nilai. Tidak hanya terbatas pada paper based (tertulis). Tapi guru perlu menawarkan metode lain dalam melakukan penilaian. Misalnya, presentasi, story telling, membuat poster, diorama, dan lain sebagainya. Anda sudah ice breaking di kelas hari ini? --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H