Ada ilustrasi sederhana tentang hewan mungil di negeri barat. Meski imut, ia berbahaya. Tak seperti hamster, landak memiliki duri hampir di seluruh tubuhnya, khususnya di bagian atas.
Pada musim dingin, mereka berkumpul untuk saling menghangatkan diri. Namun, para landak ini saling melukai karena duri-durinya tajam. Maka, mereka pun menjauhkan diri.
Selesai soal? Tidak. Mereka justru mati karena kedinginan. Hidup sendiri untuk bebas dari duri tak membuat mereka bertahan dari suhu dingin ekstrem.
Kejadian serupa terjadi pada manusia, khususnya dalam kerja bakti. Tidak datang kerja bakti membuat kita aman, tidak harus bergesekan dengan tetangga. Bisa melakukan hal lain yang lebih menguntungkan. Tapi, itu bisa membuat kita terancam, "mati" secara sosial dan emosional.
Harusnya kerja bakti menjadi sarana berkumpul dan bekerja agar hidup. Bak pepatah lama, Mangan ra mangan kumpul.
Kerja Bakti Sarana Guyub Rukun
Sebagai orang Kristen, menjadi gaya hidupku untuk beribadah tiap hari Minggu, melayani, dan mendampingi anak ke Sekolah Minggu.
Masalahnya, kerja bakti dilakukan juga Hari Minggu--saat para pekerja libur. Hati pun jadi galau. Mau ke gereja atau kerja bakti?
Kalau bolos ke gereja kok rasanya tidak disiplin secara rohani. Kalau absen kerja bakti, dikira anti-sosial. Katanya wong Kristen, tapi gak pernah kumpul. Gak guyub!
Syukurnya anak kami sudah hampir batita, tidak seperti saat masih setahun, harus ditunggui berdua. Jadi, kalau jadwal kerja bakti aku juga bertugas di Sekolah Minggu, aku akan bertukar jadwal. Lebih mudah mencari petugas pengganti, sebab kerja bakti belum tentu sebulan sekali.
Itulah pentingnya menjalin komunikasi dengan teman di gereja (melalui ibadah dan pelayanan) maupun dengan tetangga (melalui kerka bakti). Supaya bisa guyub rukun dengan tetangga. --KRAISWAN