Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kerja Bakti, Sarana agar Guyub Rukun

28 Juli 2024   13:35 Diperbarui: 31 Juli 2024   22:48 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerja bakti, sarana agar guyub rukun | Dokumentasi pribadi/AP

Besok Minggu kerja bakti. Anda, sebagai bagian dari masyarakat, akan datang penuh antusias atau alpa dengan tegas?

Tidak semua orang bersedia kerja bakti. Sibuk bekerja. Ada urusan lain. Tidak suka bersosialisasi. Lebih parah, merasa tidak perlu. Betulkah tidak perlu kerja bakti...?

Mari tengok 96 tahun ke belakang. Sekelompok pemuda dari beragam daerah, berbeda adat, budaya, dan bahasa menyatakan sumpah menyatukan tekad demi meraih kemerdekaan. Sumpah Pemuda.

Semangat persatuan itu terwujud karena ada gotong royong dengan mengesampingkan segala perbedaan. Kerja bakti itu penting.

Sebab kita sudah merdeka, tak berarti tak perlu bekerja bakti. Kerja bakti tetap perlu untuk mengisi kemerdekaan. Demi melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa.

Kodrat sebagai Makhluk Sosial

Jika bisa hidup sendirian, manusia tak perlu gelar "makhluk sosial". Kita perlu berinteraksi dengan orang lain. Kita butuh bantuan dari orang lain, sebagaimana mereka butuh bantuan kita. Saling membutuhkan.

Di masyarakat Indonesia, interaksi sosial diwujudkan salah satunya melalui kerja bakti. Kerja bersama tanpa dibayar uang. Bayarannya diganti dengan waktu mengobrol, bercanda dengan para tetangga. Rehat sambil melumat mendoan dan kacang rebus ditemani kopi atau teh, menyedot sebatang rokok, dan tertawa. 

Entah mengobrol tentang politik, tahi kucing yang berceceran di teras rumah, atau isi dompet yang jumlahnya tetap, sedang kebutuhan terus menggelembung. 

Bekerja, Berkumpul, Hidup!

Ada ilustrasi sederhana tentang hewan mungil di negeri barat. Meski imut, ia berbahaya. Tak seperti hamster, landak memiliki duri hampir di seluruh tubuhnya, khususnya di bagian atas.

Pada musim dingin, mereka berkumpul untuk saling menghangatkan diri. Namun, para landak ini saling melukai karena duri-durinya tajam. Maka, mereka pun menjauhkan diri. 

Selesai soal? Tidak. Mereka justru mati karena kedinginan. Hidup sendiri untuk bebas dari duri tak membuat mereka bertahan dari suhu dingin ekstrem.

Kejadian serupa terjadi pada manusia, khususnya dalam kerja bakti. Tidak datang kerja bakti membuat kita aman, tidak harus bergesekan dengan tetangga. Bisa melakukan hal lain yang lebih menguntungkan. Tapi, itu bisa membuat kita terancam, "mati" secara sosial dan emosional.

Harusnya kerja bakti menjadi sarana berkumpul dan bekerja agar hidup. Bak pepatah lama, Mangan ra mangan kumpul.

Kerja Bakti Sarana Guyub Rukun

Sebagai orang Kristen, menjadi gaya hidupku untuk beribadah tiap hari Minggu, melayani, dan mendampingi anak ke Sekolah Minggu.

Masalahnya, kerja bakti dilakukan juga Hari Minggu--saat para pekerja libur. Hati pun jadi galau. Mau ke gereja atau kerja bakti?

Kalau bolos ke gereja kok rasanya tidak disiplin secara rohani. Kalau absen kerja bakti, dikira anti-sosial. Katanya wong Kristen, tapi gak pernah kumpul. Gak guyub!

Syukurnya anak kami sudah hampir batita, tidak seperti saat masih setahun, harus ditunggui berdua. Jadi, kalau jadwal kerja bakti aku juga bertugas di Sekolah Minggu, aku akan bertukar jadwal. Lebih mudah mencari petugas pengganti, sebab kerja bakti belum tentu sebulan sekali. 

Itulah pentingnya menjalin komunikasi dengan teman di gereja (melalui ibadah dan pelayanan) maupun dengan tetangga (melalui kerka bakti). Supaya bisa guyub rukun dengan tetangga. --KRAISWAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun