Jika suatu hari ekskur Pramuka ditiadakan, anak-anak akan kehilangan satu keterampilan hidup, yakni berkemah (camping). Namun aku tak khawatir, aku akan mengajari anakku.
Pertama kali aku berkemah adalah saat kelas 5 SD. Itu pun cuma di SD desa tetangga. Yang paling berkesan waktu itu, harus tidur di tenda, permukaan tanahnya keras, tanpa bantal, dan udaranya dingin. Harus bangun jam 4 pagi untuk uji nyali. Berbaris dalam kelompok, tidak boleh menengok kiri-kanan, agar tidak melihat penampakan. Meski makin takut, dengan polos kami menurut juga.
Pengalaman camping lainnya saat SMP hingga kuliah. Waktu itu tendanya tanpa alas, tidak seperti tenda modern sekarang. Selain berdebu, dingin minta ampun. Kalau hujan, ngalamat...
Meski terpaksa karena wajib di sekolah negeri, kegiatan Pramuka dan camping membentuk kami untuk mandiri. Harus bisa tali-menali, mendirikan tenda, membuat tandu darurat, membaca sandi, dan tentu saja bertahan hidup, jauh dari orang tua.
Saat camping SMP, beberapa temanku dijenguk orangtuanya. Ditanyakan kabar dan dibawakan bekal. Baru camping luar kecamatan saja sudah ditengokin. Kapan mandirinya?
Aku, meski tak ditengok orangtua bisa tetap bertahan. Faktanya, karena alasan perekonomian, orangtuaku bahkan tak bisa memberikan uang saku. Saat teman-temanku bisa jajan, aku cukup memandang. Hanya makan dari jatah yang diberikan sekolah.
Meski begitu, aku dipaksa mengalahkan semua rintangan saat berkemah. Bisa tidur meski jauh dari orangtua dan tanpa kasur, tetap sehat meski udara dingin, dan menguasai keterampilan dasar seperti mendirikan tenda. Termasuk mengatasi ketakutan, toilet jauh dari tenda, gelap, dan melawan mitos adanya hantu.
Kemampuanku dinaikkan saat dua kali mendaki dan berkemah di puncak Gunung Merbabu di masa kuliah. Gunung setinggi 3.145 mdpl ini memberi tantangan berupa medan yang sulit, tekanan udara tinggi serta suhu yang dingin. Syukurnya, aku dan rombonganku sehat semua. Tidak ada kecelakaan seperti berita di medsos hari-hari ini.
Menyadari pentingnya skill dari camping, kami melatih anak kami sejak dini. Bulan lalu, aku dan istri sudah survei ke resto kopi yang menyajikan pemandangan menawan Gunung Merapi. Bulan ini kesampaian mengajak anak berkemah.
Pilih lokasi yang medannya mudah
Bagi pecinta alam, yang diburu saat berkemah adalah sunrise di puncak gunung. Di daerah kami, Gunung Andong bisa ditempuh satu jam sampai puncak.
Anak kami 2,5 tahun, atraktif dan banyak gerak. Medan di Andong berbatu, dan ada tepian jurang. Aku belum berani mengajaknya kemah di sana. Kalau ia tak mau berjalan, papanya yang kerempeng tak sanggup menggendong sampai puncak.
Maka, Argoloro Kopi menjadi tujuan. Tidak perlu mendaki/berjalan kaki, bukan area kemah juga. Pemandangan gunung yang menakjubkan memotivasi kami.
Pentingnya memperhatikan cuaca
Bulan yang berakhiran ber ber artinya musim hujan. Ini bulan Mei, pasti tidak hujan. Sebulan terakhir di tempat kami juga tidak hujan.
E lha dalah, di tengah jalan hujan rintik. Aneh kali musim sekarang. Kami pakai mantel, sampai di lokasi hujan deras. Harus menunggu sekitar 30 menit sampai reda, baru bisa mendirikan tenda. Rupanya sepanjang malam hujan mengguyur juga di daerah-daerah lain. Tenda kami 'direndam'. Lain kali make sure sudah kemarau kalau mau camping.
Bawa perlengkapan dasar berkemah
Meski cuma semalam, kemah tetap butuh persiapan perlengkapan, apalagi mengajak anak kecil. Karpet, sleeping bag, selimut, perkap memasak, bahan makanan (sebab mengajak chef), air mineral, dan mainan anak. Usahakan bawa karpet sesuai jumlah orang sebagai alas tidur. Kalau bisa sewa tenda yang ada terasnya. Ini sangat berguna.
Camping, mengajari anak bertahan hidup
Aku teringat film Nowhere, menceritakan Mia yang tengah hamil harus bertahan hidup di dalam kontainer yang mengapung di lautan akibat kabur dari pemerintah yang otoriter.Â
Kami bertiga di tenda, dengan perlengkapan terbatas, harus bertahan di tengah guyuran hujan semalaman. Dinding tenda basah, alas tenda tergenang air, dan merembes masuk. Bak di tengah lautan.
Berikut ini 3 keterampilan bertahan hidup yang kami latih pada anak. Semua dilakukan di dalam tenda, dari sore sampai esok pagi.
1) Bisa tidur
Mirip kami, anak kami mudah beradaptasi. Meski di luar rumah sendiri, ia bisa tidur lelap asalkan ada susu dan selimut. Selama ini tidur di luar rumah tapi di gedung.
Kali ini di tenda, bisakah ia tidur nyenyak? Polah aktifnya membuatku sangsi, kalau ia tak betah di dalam tenda bagaimana mau tidur? Syukurnya, meski hujan deras dan banjir ke dalam tenda anak kami bisa tidur lelap sampai pagi, no rewel.
2) Bisa makan
Anak kami relatif mudah makan. Hampir semua jenis makanan ia bisa makan. (Bahkan minuman jamu yang pahit!) Kuncinya satu: orang tua membiasakan. Istriku produsen jamu, kami juga biasakan mengonsumsi makan sehat yakni sayur, buah, dan lauk pauk bervariasi. Kedua, jangan biasakan beri jajan bermicin.
Syukurnya, meski cuma nasi putih anak kami mau makan. Camping ini istriku membawa nasi putih, udang (favorit anak), jamur, dan tempe. Ia pun bisa makan lahap meski harus diselingi nonton video di HP.
3) Bisa bermain
Flash card dan bola adalah dua mainan yang bisa mengalihkan anak dari handphone. Entah kenapa istriku keidean membawa bola. Namun, itu terbukti ampuh.
Sore sebelum makan kami bisa mengajak anak bermain di tenda 2x2 m. Tebak-tebakan gambar, lempar bola, bahkan berlari-melompat di dalam tenda. Efek samping: badan papa-mamanya didorong, ditindih, dan diinjak.
Malam sebelum tidur, kami ajak si anak main kembang api sisa lebaran. Tak bisa melihat bintang malam, ia bahagia bermain kembang api. Esoknya, si anak bisa jalan-jalan naik tangga dan berlarian di sekitar.
***
Meski jauh dari ekspektasi karena hujan seharian, misi kami untuk mengajari anak bertahan hidup terbilang lancar. Anak kami bisa bertahan di dalam tenda saat hujan deras, bahkan kebanjiran. Ia tidak rewel meski suasana penuh kendala. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H