Kisah 1 - Seorang murid kelas 6 SD sering datang terlambat ke sekolah, tidak berempati kepada teman, dan tidak tahu sopan santun. Satu murid lainnya membuka pintu tanpa mengetuk, dan menutupnya macam melempar lembing.
Seorang murid berkata-kata kurang sopan (bicara nyinyir, dengan mata digerak-gerakkan ke atas dan samping) kepada teman bahkan gurunya. Ia juga punya roh otoriter dalam dirinya, sehingga sering menghambat temannya saat tugas kelompok.
***
Kebanyakan kita tidak ingin anak kita bersikap demikian, bukan?
Kisah 1 itu hanya contoh kecil, betapa kebiasaan di rumah dan perlakuan orang dewasa di sekitarnya membentuk karakter anak. Salah satu anak itu diketahui memakai HP berlebihan (sampai lewat tengah malam) saat di rumah. Ia sering tidur larut, datang terlambat ke sekolah, dan menguap berkali-kali.
Ia juga mahir berbahasa Inggris meski tidak les. Pintar tapi tidak bisa berempati pada sesama, tidak disiplin dalam waktu, suka membuang sampah di kolong meja; percuma.
Murid SD berada di sekolah rata-rata 5-7 jam/hari. Waktu selebihnya di rumah dalam pengawasan orang tua/wali. Beberapa sekolah melarang muridnya membawa HP ke sekolah, termasuk di sekolahku. Anak mengakses HP berlebihan di rumah, padahal orang tua yang memfasilitasi, pasti ada yang salah dengan orang tua. Jika bukan ketidaktahuan, tentu pembiaran. Orang tua macam ini tidak menegakkan otoritasnya, anak jadi semaunya sendiri.
Lagi pula, zaman sekarang siapa yang tidak memakai HP? Dari anak-anak sampai kakek-nenek, hampir semua memakai. Orang tua yang tidak mau repot dengan tingkah anak berikan HP saja biar diam.
Kalau anak sudah terpapar konten negatif di medsos, lalu menjadi malas, tidak disiplin bahkan menyerap semua hal (positif maupun negatif) termasuk dalam komunikasi berbahasa Inggris, bisa risiko speech delay juga; baru menyesal. Itu pun kalau tahu rasanya menyesal.
Allah mempercayai orang tua
Orang tua adalah pihak pertama yang dipercaya Allah untuk mengasuh, membimbing, dan mendidik anak. "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu," Demikian tugas yang Allah berikan bagi manusia. Sekolah, tempat-tempat ibadah, dan lembaga lain di masyarakat menjadi kolaborator, bukan menggantikan peran orang tua.
Sungguh ironi jika ada orang tua yang berpikir, karena mereka sudah membayar mahal ke sekolah, harusnya anak beres tanpa masalah. Orang tua dengan mindset seperti ini bisa jadi punya luka di masa lalu, tidak mendapat didikan yang benar waktu kecil, dan butuh ditolong. Uang tidak akan membereskan masalah, padahal mendidik anak menjadi tanggung jawabnya.
Berikut ini bukti lain bahwa orang tua harus menjadi guru pertama bagi anak. Sejak seorang anak lahir, ia hanya tahu menangis dan tertawa. Seiring berjalannya waktu, ia akan belajar kata-kata pertama dari orang tuanya. “Papa”, misalnya.
Itulah mengapa, sejak bayi orang tua diharapkan menjalin relasi dengan anak. Diajak bicara, dinyanyikan lagu, maupun diajak bermain, meski belum sepenuhnya mengerti. Sebab jika tidak diajak bicara dari bayi, ia tidak punya ikatan dengan orang tua, akan menghambat proses tumbuh-kembangnya.
***
Kisah 2 - Seorang batita meronta-ronta ingin nonton Youtube di HP, tapi orang tuanya tidak memberikan. Si anak sudah tahu marah dan membentak. Tega ya orang tuanya…
Bayi berumur 2,5 tahun tak lagi dipakaikan popok oleh ibunya. Akibatnya ia mengompol berkali-kali di lantai, karpet, dan di kasur. Bahkan membasahi kasur tetangga saat bermain. Teganya orang tuanya.
Seorang batita diminta orang tuanya membuang bungkus bekas makanan ke tempat sampah, merapikan sendiri mainannya—yang berujung tetap berantakkan, dan membilas piring-gelas di wastafel. Teganya, apakah tidak takut anaknya memecahkan gelas, lalu melukai tangannya…?
***
Sikap tidak tega dan kasihan yang tidak pada tempatnya akan membentuk mental dan karakter anak menjadi seperti contoh kasus 1. Alih-alih menjadikannya mandiri dan mampu beradaptasi, sikap tidak tegaan akan membelenggu anak sehingga kesulitan mematuhi aturan, tidak tahu tata krama, bahkan tidak sanggup menyelesaikan masalahnya sendiri.
Sebaliknya, batita yang diperlakukan tega oleh orang tuanya itu sudah bisa berlatih memahami otoritas orang tua dan belajar mandiri sejak dini. Sebab, orang tuanya rela mendisiplin anaknya, rela anaknya 'menderita' sesaat demi bisa bertanggung jawab di masa depan.
"Tempalah besi selagi masih panas"
Demikian adalah nasihat Pak Pendeta untuk kami saat membaptiskan anak kami di gereja. Pandai besi akan memukul berkali-kali dan segera selagi besi itu masih panas sampai menjadi bentuk yang diinginkan. Setelah tidak panas, besi hampir mustahil dibentuk. Kalau pun bisa, sangat susah.
Begitu juga dalam hal mendisiplin anak. Lebih mudah mendisiplinnya saat ia "masih panas". Kita bisa ikut terluka saat menempa besi panas ini. Tapi sepadan dengan hasil yang akan diterima. Daripada setelah besar anak tidak lagi bisa ditempa, menimbulkan luka permanen bagi orang tua maupun anak itu sendiri.
Kami mendisiplin anak kami dengan mengantar ke Sekolah Minggu tiap hari Minggu jam 7 pagi, membatasi kontak pada HP, membacakan cerita Alkitab maupun buku-buku cerita anak, menerapkan toilet training, meminta membereskan mainan setelah selesai dipakai, serta mengajarkan kata-kata ajaib: terima kasih, tolong, dan maaf.
Hai-hari ini, kami mulai melihat hasilnya. Ia akan minta tolong jika tidak bisa melakukan sesuatu sendiri, bilang "pinjam ya" pada mainan teman, bilang "pipis" sebelum pipis, minta dibacakan cerita Alkitab sebelum tidur, dan tahu membereskan mainan saat aku atau istri sudah membuatkan susu sebelum tidur.
Kami berharap karakter disiplin dan mandiri ini akan terus berkembang hingga ia dewasa. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H