Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Kartini 2024: Meski Gelap, Tetap Pancarkan Terang

21 April 2024   17:01 Diperbarui: 22 April 2024   17:01 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengenakan pakaian tradisional untuk parade di Hari Kartini | dokpri

Panitia menyediakan 10 bingkisan menarik untuk masing-masing kategori dewasa dan anak-anak. Wah, menarik nih!

Mulanya, kami tidak ingin mendaftar. Kami sadar, mengurus si kecil untuk bangun dan ikut Sekolah Minggu jam 7 pun sudah perjuangan berat. Namun, entah kenapa, istriku didorong oleh salah satu panitia untuk ikut. Dengan semangat Kartini, sat-set sat-set, istriku telah memakai kostum.

Anak Sekolah Minggu merayakan Hari Kartini | foto: KRAISWAN 
Anak Sekolah Minggu merayakan Hari Kartini | foto: KRAISWAN 

Kami berbagi tugas. Sembari istriku bersiap, aku memandikan anak, lalu membantu menyiapkan bekalnya. Istriku mengenakan kebaya berbalut ulos kombinasi warna ungu-pink, anakku dipakaikan kemeja putih dan rompi jas abu-abu. Aku...? Cukup memakai batik motif Papua. Setidaknya mewakili keberagaman pakaian tradisional. Tiba di gereja, aku bertugas menemani anak di kelas Sekolah Minggu, istriku melakukan make up.

Jika dibandingkan dengan peserta lain, kami tidak ada apa-apanya. Ada yang make up ke salon, memakai kostum terbaiknya lengkap dengan asesorisnya. Istriku make up ala kadarnya. Anakku, bukannya memakai blangkon atau gotong (hiasan kepala buat laki-laki khas Batak), malah membawa boneka anjing, hahaha...

Bukan soal menang atau kalah, lebih penting adalah menyambut semangat Kartini dan terus memancarkan terang bagi sekitar.

Ibadah selesai, jemaat segera menjejali arena parade. Anak-anak Sekolah Minggu tak mau kalah, tak sabar ingin ikut parade. Tanpa berbasa-basi, MC memanggil peserta sesuai nomor urut agar melenggang di karpet merah. Tepuk tangan penonton memeriahkan suasana, tak kalah dengan suporter bola. Berupa-rupa jenis kamera menjulur dari tangan-tangan terampil. Entahkah kamera milik panitia atau orang tua yang hendak mengambil foto anaknya.

Nomor istriku dipanggil. Si bayi sudah ketinggalan urutannya. Namun, dengan sedikit dorongan mereka kompak melenggang di karpet merah. Istriku berjalan anggun dalam balutan ulos dan bulang (hiasan kepala khas Batak untuk wanita), sedang anakku tangan kanan memegang boneka, tangan kiri dadah-dadah pada guru Sekolah Minggunya dan para penonton. Aduhai!

Biar cuma melintas sekian detik, aku membayangkan perasaan para peserta. Serasa menjadi bintang. Banyak sorakan dan tepuk tangan sebagai dukungan.

Dari parade sederhana ini bisa diambil tiga pelajaran.

1) Peringatan sederhana, semangatnya bermakna

Tidak semua lembaga, termasuk gereja mau merayakan Hari Kartini. Padahal, semangat Kartini demi menyibakkan kegelapan kehidupan pantas untuk terus digaungkan. Selain itu, penting bagi anak-anak kita--generasi gadget untuk mengalami makna semangat Kartini. Itulah sebab, anak-anak dilibatkan dalam parade ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun