Panitia menyediakan 10 bingkisan menarik untuk masing-masing kategori dewasa dan anak-anak. Wah, menarik nih!
Mulanya, kami tidak ingin mendaftar. Kami sadar, mengurus si kecil untuk bangun dan ikut Sekolah Minggu jam 7 pun sudah perjuangan berat. Namun, entah kenapa, istriku didorong oleh salah satu panitia untuk ikut. Dengan semangat Kartini, sat-set sat-set, istriku telah memakai kostum.
Kami berbagi tugas. Sembari istriku bersiap, aku memandikan anak, lalu membantu menyiapkan bekalnya. Istriku mengenakan kebaya berbalut ulos kombinasi warna ungu-pink, anakku dipakaikan kemeja putih dan rompi jas abu-abu. Aku...? Cukup memakai batik motif Papua. Setidaknya mewakili keberagaman pakaian tradisional. Tiba di gereja, aku bertugas menemani anak di kelas Sekolah Minggu, istriku melakukan make up.
Jika dibandingkan dengan peserta lain, kami tidak ada apa-apanya. Ada yang make up ke salon, memakai kostum terbaiknya lengkap dengan asesorisnya. Istriku make up ala kadarnya. Anakku, bukannya memakai blangkon atau gotong (hiasan kepala buat laki-laki khas Batak), malah membawa boneka anjing, hahaha...
Bukan soal menang atau kalah, lebih penting adalah menyambut semangat Kartini dan terus memancarkan terang bagi sekitar.
Ibadah selesai, jemaat segera menjejali arena parade. Anak-anak Sekolah Minggu tak mau kalah, tak sabar ingin ikut parade. Tanpa berbasa-basi, MC memanggil peserta sesuai nomor urut agar melenggang di karpet merah. Tepuk tangan penonton memeriahkan suasana, tak kalah dengan suporter bola. Berupa-rupa jenis kamera menjulur dari tangan-tangan terampil. Entahkah kamera milik panitia atau orang tua yang hendak mengambil foto anaknya.
Nomor istriku dipanggil. Si bayi sudah ketinggalan urutannya. Namun, dengan sedikit dorongan mereka kompak melenggang di karpet merah. Istriku berjalan anggun dalam balutan ulos dan bulang (hiasan kepala khas Batak untuk wanita), sedang anakku tangan kanan memegang boneka, tangan kiri dadah-dadah pada guru Sekolah Minggunya dan para penonton. Aduhai!
Biar cuma melintas sekian detik, aku membayangkan perasaan para peserta. Serasa menjadi bintang. Banyak sorakan dan tepuk tangan sebagai dukungan.
Dari parade sederhana ini bisa diambil tiga pelajaran.
1) Peringatan sederhana, semangatnya bermakna
Tidak semua lembaga, termasuk gereja mau merayakan Hari Kartini. Padahal, semangat Kartini demi menyibakkan kegelapan kehidupan pantas untuk terus digaungkan. Selain itu, penting bagi anak-anak kita--generasi gadget untuk mengalami makna semangat Kartini. Itulah sebab, anak-anak dilibatkan dalam parade ini.