Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Kartini 2024: Meski Gelap, Tetap Pancarkan Terang

21 April 2024   17:01 Diperbarui: 22 April 2024   17:01 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berkontribusi dalam perayaan Kartini dengan pakaian daerah | foto: KRAISWAN

Gelap adalah kondisi ketiadaan terang. Dunia ini makin gelap karena tidak ada, atau kekurangan terang. Maukah kau menjadi terang itu?

***

Jika boleh dibayangkan, demikian kira-kira nasib Kartini di era penjajahan Belanda. Saat wanita tidak mempunya hak seperti laki-laki, dan tetap menjadi warga kelas dua. Padahal, mereka juga adalah manusia yang punya daya, kesempatan, dan impian.

Perempuan tidak boleh sekolah. Harus untuk pada laki-laki. Tidak boleh memberikan pendapat. Menjadi alat untuk kepentingan laki-laki, kawin paksa salah satunya. Inilah kondisi ketiadaan terang yang dialami Kartini di tahun 1800-an.

Dalam surat yang ditulis kepada sahabatnya, Stella Zeehandelaar tanggal 25 Mei 1899, Kartini menulis:

“… we girls, so far as education goes, fettered by our ancient traditions and conventions, have profited but little by these advantage. It was a great crime against the customs of our land that we should be taught at all, and especially that we should leave the house every day to go to school. For the custom of our country forbade girls in the strongest manner ever to go to outside of the house..." (dikutip dari tirto.id)

Adat-istiadat sendiri yang membelenggu kaum perempuan dari citra dirinya yang sejati: penolong laki-laki. Di era itu, perempuan yang keluar rumah untuk bersekolah adalah suatu kejahatan besar. Ironis.

Namun, Kartini adalah wanita pemberani. Tak peduli segelap apa pun lingkungannya, dengan terseok-seok, dan mungkin sendirian, ia menyalakan terang. Lebih dari seabad kemudian, terang itu telah terpancar di dunia saat ini. Perempuan mendapat tempat yang setara, dan pantas berdampingan dengan laki-laki.

Untuk mengenang perjuangan wanita tanggung kelahiran Jepara, 21 April 1879 ini, gerejaku mengadakan suatu perayaan sederhana bertajuk "Semarak Hari Kartini". Komisi Dewasa mengajak jemaat (dewasa dan anak) untuk mengenakan pakaian daerah. Lalu setelah selesai ibadah, akan dilakukan parade singkat dari pintu keluar menuju halaman gereja. Kegiatan ini bertujuan mengobarkan semangat Kartini dan melestarikan kebudayaan bangsa Indonesia di tengah era medsos.

Mengenakan pakaian tradisional untuk parade di Hari Kartini | dokpri
Mengenakan pakaian tradisional untuk parade di Hari Kartini | dokpri

Panitia menyediakan 10 bingkisan menarik untuk masing-masing kategori dewasa dan anak-anak. Wah, menarik nih!

Mulanya, kami tidak ingin mendaftar. Kami sadar, mengurus si kecil untuk bangun dan ikut Sekolah Minggu jam 7 pun sudah perjuangan berat. Namun, entah kenapa, istriku didorong oleh salah satu panitia untuk ikut. Dengan semangat Kartini, sat-set sat-set, istriku telah memakai kostum.

Anak Sekolah Minggu merayakan Hari Kartini | foto: KRAISWAN 
Anak Sekolah Minggu merayakan Hari Kartini | foto: KRAISWAN 

Kami berbagi tugas. Sembari istriku bersiap, aku memandikan anak, lalu membantu menyiapkan bekalnya. Istriku mengenakan kebaya berbalut ulos kombinasi warna ungu-pink, anakku dipakaikan kemeja putih dan rompi jas abu-abu. Aku...? Cukup memakai batik motif Papua. Setidaknya mewakili keberagaman pakaian tradisional. Tiba di gereja, aku bertugas menemani anak di kelas Sekolah Minggu, istriku melakukan make up.

Jika dibandingkan dengan peserta lain, kami tidak ada apa-apanya. Ada yang make up ke salon, memakai kostum terbaiknya lengkap dengan asesorisnya. Istriku make up ala kadarnya. Anakku, bukannya memakai blangkon atau gotong (hiasan kepala buat laki-laki khas Batak), malah membawa boneka anjing, hahaha...

Bukan soal menang atau kalah, lebih penting adalah menyambut semangat Kartini dan terus memancarkan terang bagi sekitar.

Ibadah selesai, jemaat segera menjejali arena parade. Anak-anak Sekolah Minggu tak mau kalah, tak sabar ingin ikut parade. Tanpa berbasa-basi, MC memanggil peserta sesuai nomor urut agar melenggang di karpet merah. Tepuk tangan penonton memeriahkan suasana, tak kalah dengan suporter bola. Berupa-rupa jenis kamera menjulur dari tangan-tangan terampil. Entahkah kamera milik panitia atau orang tua yang hendak mengambil foto anaknya.

Nomor istriku dipanggil. Si bayi sudah ketinggalan urutannya. Namun, dengan sedikit dorongan mereka kompak melenggang di karpet merah. Istriku berjalan anggun dalam balutan ulos dan bulang (hiasan kepala khas Batak untuk wanita), sedang anakku tangan kanan memegang boneka, tangan kiri dadah-dadah pada guru Sekolah Minggunya dan para penonton. Aduhai!

Biar cuma melintas sekian detik, aku membayangkan perasaan para peserta. Serasa menjadi bintang. Banyak sorakan dan tepuk tangan sebagai dukungan.

Dari parade sederhana ini bisa diambil tiga pelajaran.

1) Peringatan sederhana, semangatnya bermakna

Tidak semua lembaga, termasuk gereja mau merayakan Hari Kartini. Padahal, semangat Kartini demi menyibakkan kegelapan kehidupan pantas untuk terus digaungkan. Selain itu, penting bagi anak-anak kita--generasi gadget untuk mengalami makna semangat Kartini. Itulah sebab, anak-anak dilibatkan dalam parade ini.

Dengan kostum yang unik nan lucu, mereka turut memancarkan terang. Supaya anak-anak kita juga tahu, ada seorang perempuan di Indonesia yang menyalakan terang di tengah gelapnya dunia. Supaya mereka bisa lebih menghargai perjuangan perempuan, yakni utamanya ibu mereka.

Kartiniku dapat juara dalam parade | dokpri
Kartiniku dapat juara dalam parade | dokpri

2) Memancarkan terang dalam keseharian

Sebagai laki-laki, aku mengakui ribet untuk persiapan parade dengan kostum ini. Masih mempersiapkan anak kecil pula. Belum makannya, belum mainannya, belum kalau nanti rewel. Tapi, para ibu yang punya anak batita tidak kalah dengan kendala itu, termasuk istriku.

Dalam kesehariannya, para wanita ini juga berjuang di dalam keluarga masing-masing. Ada yang bekerja demi mendukung suami, atau mengurus anak dan rumah tangga, semuanya adalah usaha memancarkan terang. Terima kasih, para Kartini!

3) Meski gelap, terus pancarkan terang

Kegelapan saat ini bukanlah penjara seperti yang dialami Kartini puluhan tahun lalu. Namun, tantangannya tidak kalah besar. Kesulitan mendidik anak, disrupsi akibat media sosial, persoalan keuangan, relasi yang sering bergesekan, kesibukan pekerjaan, dan banyak lagi. Ini disebut kondisi gelap.

Meski begitu, para wanita harus terus memancarkan terang, dimulai dari keluarga. Dalam versi keluarga kecil kami, aku tidak bisa seterampil istriku dalam mengelola rumah tangga. Namun, tetap berusaha membantu sekecil apa pun. Memandikan anak dan menyiapkan bekal, misalnya.

***

Parade hampir selesai. Aku mengantar anak ke tempat Mbah, sedang istriku menunggu di gereja dan mencari tempat duduk untuk ibadah kedua. Saat aku kembali, istriku senyum dengan manis sambil menunjukkan suatu bingkisan. Wah, Kartini-ku menang! Hebat! --KRAISWAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun