"Apa itu papah?" / "Antena." balasku. (Bagaimana bisa ia kepikiran menanyakan benda di ketinggian sana?)
"Buat apa?" / "Memancarkan sinyal radio." jelasku. / "Radio apa?"
Demikian percakapanku dengan anak lelakiku, 2,5 tahun, di lantai 2. Di usia sekian, ia menanyakan benda yang bahkan orang dewasa pun menghiraukannya. Emejing.
***
Banyak tanya, banyak tahu. Demikian kata pepatah.
Hal itu juga dialami anak lelaki balita kami. Sejak usia dua tahun, ia sudah banyak bertanya "Apa ini?" "Apa itu?" "Ini buat apa? Nanti apa?" Wah wah... Antara bersyukur, kagum, juga capek untuk menjawab. Mbah pun mengakuinya.
Kalau anak banyak bertanya "Apa", sebaiknya hindari atau ladeni?
Tapi, bukankah rasa ingin tahu yang dimiliki anak balita ini tanda kemajuan? Indikasi ia bertumbuh dan berkembang secara optimal.
Rasa ingin tahunya distimulus dengan flash card tentang buah, sayur, mobil-mobilan, dan beragam peralatan keseharian. Kini, ia sudah katam semua nama benda dalam card itu. Itulah pentingnya memberi stimulus pada anak. Cara lainnya dengan mengenalkan nama, warna, bentuk, sampai bunyi benda/ hewan tertentu. Jangan salah, anak balita sensori tubuhnya sudah bisa menangkap dengan baik.
Sayangnya, oleh kebanyakan orang tua kita dulu, menganggap anak masih bayi, ngapain diajak ngomong dan diajarkan macam-macam. Orang tua milenial juga bisa terjebak mindset serupa, berikan HP saja biar tenang.
Kembali ke anakku. Kami suka mengajaknya ke luar rumah. Berbelanja ke pasar. Jalan-jalan di sekitar sawah. Ke resto yang ada hewan-hewannya. Ke SPBU untuk isi bensin. Bahkan dalam perjalanan kami kenalkan nama-nama benda. Ia makin banyak tahu.
Suatu malam, saat menjemput oppung dari terminal, dari dalam mobil oppung dibuat geleng-geleng kepala. "Itu pom bensin, Pung!" Oppung heran, kok tahu anak bayi itu ada pom bensin, malam -malam pula. Mamanya pun cuma senyum-senyum.
Kesempatan lain. Istriku memboncengkan anak di jok depan motor untuk ke tempat Mbah. Di suatu pertigaan, ada jasa topeng monyet keliling. Mulanya anakku takut, karena belum pernah melihat langsung.
Saat pulang dengan jalur yang sama, anakku berujar, "Monyetnya mana, Mama?" What...? Cuma sekali lihat dan diberitahu, anakku langsung ingat!
Dalam banyak kesempatan, anak kami akan lebih cerewet. Apa itu? Buat apa? Nanti apa? Badutnya di mana? (Beberapa kali ia lihat badut di persimpangan jalan.)
Kalau banyak tanya, sedang orang tua ada pekerjaan, atau hal mendesak, bagaimana bisa meladeni? Bagaimana kalau hindari saja (mengabaikan)?
Kami memilih meladeni. Untuk setiap progres yang dialami anak kami, dengan banyak tanya salah satunya, itu adalah tanda kebaikan. Ia punya rasa ingin tahu sejak dini. Sebagai orang tua yang lebih maju, yang peduli pada pertumbuhan dan perkembangan anak, kami mengusahakan untuk meladeni pertanyaannya semampu kami.
Ia bertanya, kami menjawab. Ia ingin tahu, kami menjelaskan. Meski belum sepenuhnya mengerti, dan kadang membuat kami capek, hasilnya sepadan. Ia bisa lebih interaktif dengan kami orang tuanya, maupun orang lain, termasuk orang yang baru ditemui. Ibu-ibu di pasar dibuat tertawa bahagia melihat tingkahnya. Puji Tuhan!
Dengan rasa ingin tahu, harapannya ia akan lebih cepat belajar melalui hal-hal yang ada di lingkungannya. Menjawab pertanyaannya dan menjelaskan juga menjadi komunikasi efektif antara orang tua dan anak. Istilahnya, komunikasi berkualitas.
Dengan banyak tanya ini, bisa meminimalkan anak kami kontak dengan HP. Tidak dipungkiri, beberapa kosakata tentang warna, nama hewan, nama-nama kendaraan atau bahkan istilah asing, ia tahu dari Youtube. Tapi, kami memaksimalkan interaksi langsung dengan lingkungan sekitar.
Anak balita banyak bertanya "Apa", ladeni saja! --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H