Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Alih-Alih Gagah, Begini Seharusnya Pria Terhormat

3 Maret 2024   12:50 Diperbarui: 3 Maret 2024   12:58 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak penjual gorengan di pasar | dokumentasi pribadi

Dalam keluarga, seorang pria mendapat mandat untuk memimpin. Jabatannya disebut kepala keluarga. Di balik semua kelebihan maupun kekurangannya, seorang pria harus menjaga diri untuk tetap terhormat di depan anggota keluarga, masyarakat, terlebih bangsa.

***

Aku adalah seorang suami dan ayah dalam sebuah keluarga kecil. Aku berasal dari ayah dan ibu yang sederhana. Ya sederhana secara finansial, status sosial, tingkat intelektual, hingga nilai-nilai dalam keluarga. Kesederhanaan itu mengkristal menjadi sebuah tekad kuat melalui kerja, kerja, kerja; agar belanga terus mengepul, bisa makan cukup, punya pakaian ganti setiap hari, dan paling penting: bisa sekolah.

Dengan sekolah, hidupmu akan lebih baik dari Bapak/Ibu. Demikian pesan ibu. Dengan sekolah, akan menambah bekal pengetahuan untuk mengarungi samudera kehidupan. Dengan sekolah, kita akan menjadi manusia yang berbudi pekerti untuk berkarya di Bumi Pertiwi.

Bapakku adalah orang yang gagah dalam hal semangat kerjanya, meski kecil secara fisik. Sejak muda, ia sudah digembleng untuk bekerja keras dan berdiri di atas kaki sendiri. Tidak ingin menyerah meski banyak mulut yang menghambat jalannya. Meski begitu, Bapak bukan tanpa kekurangan.

Terkait kehidupan Bapak/Ibu, aku pernah menuliskan kisahnya (khususnya pengorbanan Ibu) melalui sebuah lomba menulis di gereja, dan berhasil meraih juara 1. (di sini)

***

Aku suka berbelanja. Lebih tepatnya mengantar istri belanja. Maka, seluk beluk pasar kami sudah paham. Sudah punya langganan juga.

Pasar menjadi laboratorium hidup terlengkap dan paling menarik untuk belajar. Anakku (2 tahun) sudah bisa menyebutkan bermacam nama buah dan sayur, mulanya belajar dari flash card yang diberi oleh teman. Lanjut ke berbagai bunyi-bunyian di pasar seperti mesin parut kelapa, dan penjual mainan. Para ibu-ibu penjual di pasar terhibur dengan polahnya. Ujungnya, ia diberi bermacam makanan oleh mereka. Puji Tuhan.

Dari beragam profesi di pasar seperti penjual sayur, buah, bumbu, daging, ikan, kelapa, asongan, kerupuk, hingga juru parkir; aku terkesan dengan penjual gorengan keliling. Yang menjual seorang pria, dagangannya ditaruh di nampan tembaga.

Apanya yang spesial?

Lelaki, jualan gorengan, diedarkan keliling pasar. Disusun rapi senampan penuh. Satu tangannya cekatan memegang kantong plastik sebagai wadah bagi pembeli. Di sela-selanya, cabe--teman terbaik makan gorengan. Di balik kantong celana halus, ditaruhnya uang modal dan kembalian. Tak kalah unik, gorengannya masih panas.

Rolade, mendoan, gembus, sukun, bakwan pisang goreng, dan lumpia! Dengan ukuran cukup besar, Bapak itu membanderol Rp2.000/ per biji. Entahkah Bapak itu menjualkan dagangan istrinya, punya orang, atau menggoreng sendiri, bukan soal.

Dia mau bekerja dengan telaten dan cekatan. Aku melihatnya sebagai kualifikasi pria terhormat. Tak malu maupun ragu bekerja untuk sesuatu yang menjadi motivasinya.

Kenapa aku terkesan? Di banding dengan banyak lelaki di luar sana yang tak tahu diri, tak tahu cara bekerja, tak bertanggung jawab, kurang ajar, dan tak tahu cara menghormati martabat perempuan. Bapak penjual gorengan itu memberi inspirasi.

Sembari menunggu istriku belanja, di atas jok motor aku memanggil si Bapak yang sedang mampir di salah satu lapak penjual buah.

Menu gorengan komplit, masih hangat | dokumentasi pribadi 
Menu gorengan komplit, masih hangat | dokumentasi pribadi 

"Pak, lumpia rebung 2. Sama cabenya ya, Pak!" Totalnya Rp6.000. Aku pegang, masih panas. Aku dan istri menyantapnya dengan penuh syukur.

Aku melumat kulit lumpia yang renyah, tapi isinya gurih dan manis, ditambah cabe rait menambah sensasi pedas. Enaknya! Sambil mengenang bahwa untuk menjadi pria terhormat tidak harus berbadan gagah atau berpenampilan keren. Utamanya, rasa tanggung jawab yang dipikul dengan tekun demi keluarga dan orang-orang terkasih. Tanpa mengabaikan peran maupun merendahkan perempuan.

Terkini, ibuku adalah penjual gorengan. Sayangnya dia kurang mendapat dukungan dari Bapak. Bukan seperti itu harusnya kodrat laki-laki.

Dari Bapak penjual gorengan itu aku juga belajar, supaya terus tekun bekerja dengan jujur dan membawa manfaat, kenikmatan dan kehangatan bagi orang lain. --KRAISWAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun