Lelaki, jualan gorengan, diedarkan keliling pasar. Disusun rapi senampan penuh. Satu tangannya cekatan memegang kantong plastik sebagai wadah bagi pembeli. Di sela-selanya, cabe--teman terbaik makan gorengan. Di balik kantong celana halus, ditaruhnya uang modal dan kembalian. Tak kalah unik, gorengannya masih panas.
Rolade, mendoan, gembus, sukun, bakwan pisang goreng, dan lumpia! Dengan ukuran cukup besar, Bapak itu membanderol Rp2.000/ per biji. Entahkah Bapak itu menjualkan dagangan istrinya, punya orang, atau menggoreng sendiri, bukan soal.
Dia mau bekerja dengan telaten dan cekatan. Aku melihatnya sebagai kualifikasi pria terhormat. Tak malu maupun ragu bekerja untuk sesuatu yang menjadi motivasinya.
Kenapa aku terkesan? Di banding dengan banyak lelaki di luar sana yang tak tahu diri, tak tahu cara bekerja, tak bertanggung jawab, kurang ajar, dan tak tahu cara menghormati martabat perempuan. Bapak penjual gorengan itu memberi inspirasi.
Sembari menunggu istriku belanja, di atas jok motor aku memanggil si Bapak yang sedang mampir di salah satu lapak penjual buah.
"Pak, lumpia rebung 2. Sama cabenya ya, Pak!" Totalnya Rp6.000. Aku pegang, masih panas. Aku dan istri menyantapnya dengan penuh syukur.
Aku melumat kulit lumpia yang renyah, tapi isinya gurih dan manis, ditambah cabe rait menambah sensasi pedas. Enaknya! Sambil mengenang bahwa untuk menjadi pria terhormat tidak harus berbadan gagah atau berpenampilan keren. Utamanya, rasa tanggung jawab yang dipikul dengan tekun demi keluarga dan orang-orang terkasih. Tanpa mengabaikan peran maupun merendahkan perempuan.
Terkini, ibuku adalah penjual gorengan. Sayangnya dia kurang mendapat dukungan dari Bapak. Bukan seperti itu harusnya kodrat laki-laki.
Dari Bapak penjual gorengan itu aku juga belajar, supaya terus tekun bekerja dengan jujur dan membawa manfaat, kenikmatan dan kehangatan bagi orang lain. --KRAISWAN