Bagi perantau, yang dirindukan adalah pulang kampung saat liburan. Bagi kakek-nenek, yang dirindukan adalah berjumpa cucu--melebihi kerinduan pada anak sendiri--apalagi jika terpisah jarak.
***
Akhir Januari mertuaku datang dari kampung Sumatra untuk berkunjung ke Salatiga. Kunjungan ini mewakili banyak kebahagiaan yang tidak cukup dilukiskan hanya dengan kata-kata. Pertama, saat anakku lahir, bapak-mama tidak bisa langsung menengok cucunya. Waktu mereka ke Salatiga (sekitar 2018), aku masih bergumul dengan anaknya--calon pacarku. Ketiga, mereka akan menghadiri wisuda anaknya nomor tiga. Perjalanan panjang dan jauh rela mereka tempuh, meski dengan banyak tantangan lain.
Meski sudah ada bandara internasional, bepergian ke luar pulau menjadi tantangan sendiri bagi masyarakat di Sumatra, tak ketinggalan mertuaku. Dari kampung ke bandara perlu setidaknya empat jam perjalanan dengan mobil pribadi. Dengan angkutan umum tentu lebih lama.
Demi menghemat biaya tiket, istriku sudah berburu jauh hari. Harga termurah adalah rute Kualanamu-Jakarta. Mereka akan mampir ke rumah tulang (saudara mama nomor satu) untuk beristirahat. Dari Jakarta-Salatiga naik bis, perjalanan sekitar 7 jam. Dari terminal di Salatiga ke rumah sudah dekat, kami jemput dengan taksi online.
pahopu). Mengharukan. Saat anak kami lahiran, mereka tidak bisa langsung menengok. Pertama karena masih pandemi Covid-19, kedua terkendala biaya. Maka waktu pulang kampung itu menjadi waktu untuk memuaskan diri bersama cucu pertama mereka. Bagi orang Batak, cucu pertama (apalagi laki-laki) adalah kebanggaan.
Sekitar enam bulan lalu, kami baru saja pulang kampung dalam acara pernikahan adik ipar, nomor dua. Itulah kali pertama kakek-nenek (Batak: oppung) berjumpa cucunya (
Waktu itu anak kami masih lucu dan polos-polosnya. Enam bulan kemudian, saat kakek-neneknya kembali bertemu cucunya dengan datang ke Salatiga, mereka dibuat heran, cucunya sudah banyak kemajuan. Pintar dan banyak kali akalnya.
Dalam perkiraan waktu tiba bapak-mama, kami segera meluncur ke terminal. Aku, istri dan anak berboncengan satu motor, adik ipar dengan satu motor. Meski sudah lewat jam 21, anak kami antusias jika diajak ke terminal. Sebabnya, dia ngefans dengan bis dan beragam kendaraan. Kami sempat bergumul, apakah akan mengajak anak menjemput mengingat hari sudah malam, dingin. Tapi demi menyambut opung-nya, kami ajak juga.
Baru saja turun dari motor, si bayi sudah mau kabur melihat ke dalam terminal. Waktu itu sudah sepi, sebab tidak banyak jadwal keberangkatan malam hari. Ia sudah mencari-cari di mana bisnya. Syukurnya, di salah satu sudut terminal disediakan arena bermain anak berupa alas karpet spons, ayunan kecil dan perosotan. Sambil menunggu bis, perosotan dulu!
Setiap ada bis datang, kami menengok, apakah itu bis yang ditumpangi opung? Setelah menunggu 30 menit lebih, bapak-mama pun tiba juga sekitar jam 22. Ah, perjumpaan ini mengharukan. Perasaannya mirip dengan saat aku pamit dari kampung. Inginnya bersama terus, tak usah berpisah.