Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Terpisah Jarak, Opung dan Pahopunya Kembali Bertemu

9 Februari 2024   08:01 Diperbarui: 9 Februari 2024   19:19 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjemput opung ke terminal | dokpri

Bagi perantau, yang dirindukan adalah pulang kampung saat liburan. Bagi kakek-nenek, yang dirindukan adalah berjumpa cucu--melebihi kerinduan pada anak sendiri--apalagi jika terpisah jarak.

***

Akhir Januari mertuaku datang dari kampung Sumatra untuk berkunjung ke Salatiga. Kunjungan ini mewakili banyak kebahagiaan yang tidak cukup dilukiskan hanya dengan kata-kata. Pertama, saat anakku lahir, bapak-mama tidak bisa langsung menengok cucunya. Waktu mereka ke Salatiga (sekitar 2018), aku masih bergumul dengan anaknya--calon pacarku. Ketiga, mereka akan menghadiri wisuda anaknya nomor tiga. Perjalanan panjang dan jauh rela mereka tempuh, meski dengan banyak tantangan lain.

Meski sudah ada bandara internasional, bepergian ke luar pulau menjadi tantangan sendiri bagi masyarakat di Sumatra, tak ketinggalan mertuaku. Dari kampung ke bandara perlu setidaknya empat jam perjalanan dengan mobil pribadi. Dengan angkutan umum tentu lebih lama.

Demi menghemat biaya tiket, istriku sudah berburu jauh hari. Harga termurah adalah rute Kualanamu-Jakarta. Mereka akan mampir ke rumah tulang (saudara mama nomor satu) untuk beristirahat. Dari Jakarta-Salatiga naik bis, perjalanan sekitar 7 jam. Dari terminal di Salatiga ke rumah sudah dekat, kami jemput dengan taksi online.

Sekitar enam bulan lalu, kami baru saja pulang kampung dalam acara pernikahan adik ipar, nomor dua. Itulah kali pertama kakek-nenek (Batak: oppung) berjumpa cucunya (pahopu). Mengharukan. Saat anak kami lahiran, mereka tidak bisa langsung menengok. Pertama karena masih pandemi Covid-19, kedua terkendala biaya. Maka waktu pulang kampung itu menjadi waktu untuk memuaskan diri bersama cucu pertama mereka. Bagi orang Batak, cucu pertama (apalagi laki-laki) adalah kebanggaan.

Waktu itu anak kami masih lucu dan polos-polosnya. Enam bulan kemudian, saat kakek-neneknya kembali bertemu cucunya dengan datang ke Salatiga, mereka dibuat heran, cucunya sudah banyak kemajuan. Pintar dan banyak kali akalnya.

Bapak mama tiba di Salatiga dengan selamat | dokpri
Bapak mama tiba di Salatiga dengan selamat | dokpri
Dalam perkiraan waktu tiba bapak-mama, kami segera meluncur ke terminal. Aku, istri dan anak berboncengan satu motor, adik ipar dengan satu motor. Meski sudah lewat jam 21, anak kami antusias jika diajak ke terminal. Sebabnya, dia ngefans dengan bis dan beragam kendaraan. Kami sempat bergumul, apakah akan mengajak anak menjemput mengingat hari sudah malam, dingin. Tapi demi menyambut opung-nya, kami ajak juga.

Opung dan pahopu kembali bertemu | dokpri
Opung dan pahopu kembali bertemu | dokpri

Baru saja turun dari motor, si bayi sudah mau kabur melihat ke dalam terminal. Waktu itu sudah sepi, sebab tidak banyak jadwal keberangkatan malam hari. Ia sudah mencari-cari di mana bisnya. Syukurnya, di salah satu sudut terminal disediakan arena bermain anak berupa alas karpet spons, ayunan kecil dan perosotan. Sambil menunggu bis, perosotan dulu!

Setiap ada bis datang, kami menengok, apakah itu bis yang ditumpangi opung? Setelah menunggu 30 menit lebih, bapak-mama pun tiba juga sekitar jam 22. Ah, perjumpaan ini mengharukan. Perasaannya mirip dengan saat aku pamit dari kampung. Inginnya bersama terus, tak usah berpisah.

Setelah menurunkan koper dan barang bawaan, aku langsung menghampiri dan memeluk mereka, diikuti istriku dan adik nomor tiga. Syukur kepada Tuhan, mereka tetap sehat, dan diizinkan berkunjung ke Salatiga, tempat cucunya.

Setelah cukup bersalam dan berfoto, kami segera meninggalkan area terminal. Aku memesan taksi online ke rumah. Aku dan adik ipar naik motor.

Tiba di rumah, bongkar muatan dan oleh-oleh. Apakah bisa langsung tidur? Mustahil. Salah satu tradisi orang Batak adalah suka mengobrol sampai larut malam, apalagi jika ada keluarga yang baru datang. Padahal besok aku masih kerja.

Anak kami tak mau ketinggalan. Opungnya masih capek karena perjalanan panjang naik bis. Tapi melihat pahopunya sehat dan lincah, rasa capek sirna seketika.

Opung menceritakan pengalaman perjalanannya. Lalu di Jakarta masih diajak tulang jalan-jalan ke Monas, patung pancoran, dan naik kereta bawah tanah. Bagi orang kampung seperti mereka, ini adalah berkat. Di usia tua masih diizinkan melihat kemegahan dunia luar. Tidak semua orang kampung mendapat kesempatan ini.

Mengobrol sampai larut malam dengan opung | dokpri
Mengobrol sampai larut malam dengan opung | dokpri

Si bayi heboh melihat oleh-oleh yang dibawah opung. Banyak sekali jajannya! Ada jajanan orong-orong kesukaan istriku sejak ia masih SD, buah jeruk dari ladang tulang, dan selai ganda (khas Medan)! Biasanya kami menidurkannya sebelum jam 21. Kali ini, pas opung datang, kami biarkan dia tidur agak larut.

Jarum jam sudah melewati angka 12. Setelah dirasa cukup mengobrol, kami segera pamit dan istirahat. Masih cukup panjang hari-hari bersama opung di Salatiga. Meski terpisah jarak, opung dan pahopunya kembali bertemu. Selamat menikmati liburan nan bahagia bersama anak dan cucu, opung! --KRAISWAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun