Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kamu Boleh Main Bebas, Tapi Harus Tahu Batas

18 Januari 2024   14:10 Diperbarui: 18 Januari 2024   16:09 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kegiatan anak SD | foto: homecare24.id

Guruku menyebalkan. Kalau mengajar membosankan, materinya banyak. Bercanda sedikit tidak boleh. Mau main pun dibatasi. Kaku. Kadang, baik sih.

***

Bisa jadi, itu yang dipikirkan dan dialami kebanyakan muridku. Tidak hanya dalam pelajaran Tematik, tapi di jam istirahat pun mata dan telingaku jeli atas tiap gerak para murid. Aku punya CCTV berjalan. Sekali tidak patuh aturan, siap-siap saja menerima teguranku.

Sekolah, bagaimana pun adalah hal yang menyenangkan. Bisa bertemu teman, mengobrol dan bercanda. Bisa makan bareng teman. Bisa curhat. Bisa TP TP (tebar pesona) ke doi. Cuma satu yang tidak asyik: pelajaran.

Lha kamu ke sekolah mau belajar apa bermain?, bentak guru pada pikiran murid yang berkecamuk.

Mau menyenangkan atau tidak, seru atau menyebalkan, berwarna atau kelabu; masa sekolah akan tetap menjadi kenangan. Para murid yang banyak tingkah dan berani melewati garis, biasanya yang akan mendapat lebih banyak kenangan dan momen berkesan. Mereka ini tidak berarti nakal ya. Guru tidak boleh memberi label demikian.

Anak-anak dengan tingkat kecerdasan majemuk di atas rata-rata biasanya punya rasa ingin tahu yang tinggi, ekspresif, menyukai tantangan dan mencoba hal baru, tidak takut terluka, tidak khawatir dimarahi guru, meski kadang agak berisik di kelas.

Inovasi Kemendikbudristek melalui hadirnya Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi guru dan murid untuk perlahan-lahan merdeka dalam melakukan Proses Belajar Mengajar (PBM). Pembelajaran berdiferensiasi, memungkinkan guru melakukan multi-metode dalam mengajar maupun penilaian. Pembelajaran tidak harus selalu searah dan di dalam kelas. Murid boleh mengungkapkan pendapatnya, atau ikut menjelaskan di kelas terkait topik yang dipelajari. 

Penilaian yang selama ini dilakukan secara tertulis, bisa dikembangkan dalam bentuk yang lain. Misalnya presentasi, membuat poster, story telling, membuat puisi, cerpen, maket/diorama dan seterusnya yang cocok dengan kondisi masing-masing siswa dan mata pelajaran. Di sekolahku, penilaian untuk mata pelajaran bahasa (Inggris, Mandarin, Jawa) sudah menggunakan metode asesmen, bukan lagi tertulis. Ini adalah sebuah inovasi. Murid dengan segala keberagaman dan keunikannya tidak bisa diuji hanya dengan satu metode tertulis.

Tapi, kemerdekaan ini tidak boleh diartikan bertindak semaunya lalu menjadi tidak disiplin. Beberapa waktu lalu aku menegur beberapa murid kelas 6 yang aku ajar saat jam istirahat. Apa sebab?

Sekolah kami adalah model sekolah komplek, dipakai bersama untuk unit TK-SMP. Tidak punya banyak ruang dan halaman layaknya sekolah negeri. Area bermain anak-anak ada di lorong dan playground. Lapangan di lantai 4 bisa dipakai khusus saat pelajaran olahraga atau olahraga bersama di hari Jumat. Mungkin merasa sudah hafal setiap sudut area bermain, sampai menjadi bosan mereka pun melangkah melewati garis.

Beberapa anak dilaporkan bermain di area playground untuk PAUD-TK. Yang melaporkan ya temannya juga. Padahal sudah ada rantai plastik sebagai pembatas dan tulisan tertempel "For under 6", untuk anak di bawah usia 6 tahun. Yang menaiki ini sudah usia 11 tahun, meski fisiknya masih seperti kelas 3.

Aku panggil mereka, 'tersangka' utamanya dua orang, ke kantor. Layaknya guru BK, aku mengklarifikasi laporan teman mereka, dan benar. Alih-alih menegur secara membabi buta, aku mengajak mereka berpikir dan menganalisa, apakah tindakan mereka melanggar aturan atau tidak. 

Nampaknya, usia mereka belum sejalan dengan pola pikirnya. Yang dipikirkan masih ingin bermain saja. Wajar, masih anak SD. Tapi karena sudah 6 harusnya lebih tahu diri. Sebab adik kelasnya pun tidak ada yang kepikiran buat memakai wahana yang khusus untuk anak TK tersebut. 

Aku senang mereka bersikap kooperatif, tidak menyangkal atau mencari kesalahan temannya. Satu sisi, mereka gentle. Sikap ini yang harusnya dimiliki dan dipupuk pada anak-anak. Bertanggung jawab pada apa yang dilakukan. Berkata jujur, mengaku salah jika memang salah.

Berapa banyak anak-anak kita yang menyangkal jika salah, karena melihat orang dewasa juga berbuat demikian?

Kasus kedua. Beberapa murid bermain sampai ke area parkir motor, dan ada sesuatu yang pecah. Pelakunya kelas 6. Mateng. Ini bisa berabe urusannya.

Di TKP. Aku langsung memanggil para murid terkait. Betul, semuanya kelas 6. Mereka berani keluar garis. Padahal sudah ditegur oleh guru piket. Di sini bukan area bermain. Cuma ada motor terparkir. Apa yang mereka cari?

Kebebasan.

Mungkin mereka pikir, di sini mereka bisa bebas berlarian, tarik-tarikan, dan teriak-teriak tanpa didengar guru. Masalahnya, di sudut sana ada kaca dan barang-barang bekas tukang. Seorang anak mengambil lampu neon (mungkin bekas) katanya hendak dikembalikan ke tempatnya, tapi sambil dipukul-pukul seperti nenek-nenek berjalan. Kreatif sekali.

Ya pasti pecahlah, Nak! Syukurnya tidak melukai seorang pun. Aku langsung menegur mereka. Mereka tahu bahwa itu bukan area bermain, jadi tidak ada alasan apa pun mereka berada di sini. Di kelas, sebelum memulai pelajaran aku menekankan aturan dasar ini.

***

Di jam istirahat, kamu bebas bermain, Nak. Mau berlarian, mau petak umpet, mau lompat-lompat; silahkan. Tapi harus tahu batas. Bebas artinya boleh berkreasi, tapi ada aturan yang harus dipatuhi. Semua demi keselamatan dan kenyamanan bersama. --KRAISWAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun