Harta yang paling berharga adalah keluarga
Permata yang paling indah adalah keluarga
***
Penggalan lirik lagu film Keluarga Cemara di atas mengingatkan bahwa keluarga sangat berharga, melebihi harta atau barang mewah apa pun di dunia. Orang sering bilang, bekerja keras, banting tulang siang-malam demi keluarga. Harta banyak, tapi kalau tidak pernah ada waktu dengan keluarga lalu relasinya rusak; betulkah keluarga berharga?
Keluarga adalah rumah teraman, ternyaman, dan terindah. Saat seluruh dunia memusuhimu, pulanglah ke tempat paling aman: keluarga. That's why, kita perlu menggumulkan Pasangan Hidup dengan sangat sungguh-sungguh. Salah pilih pasangan, keluarga takkan seindah hakekatnya.
Libur Nataru kali ini banyak hal yang baru. Aku sudah menikah dan punya anak. Adikku sudah menikah. Para sepupu sudah pada besar, ada yang bekerja. Ayah-ibuku sudah momong cucu.
Secara spontan, adikku mengagendakan jalan-jalan ke Bukit Cinta Rawa Pening. Sudah dadakan, musim hujan pula. Alhasil naik motor beramai-ramai. Rencananya kami akan naik perahu mengelilingi Rawa Pening.
Bukit Cinta berjarak sekitar 30 menit naik motor dari rumah kami. Salah satu tempat wisata di area Rawa Pening (luas permukaan sekitar 26 km persegi) makin ramai setelah pemda merenovasinya. Areanya luas, banyak pohon besar sebagai peneduh, dan beberapa pendopo untuk berlindung jika hujan. Tiket masuk Rp15.000/ orang. Parkir motor Rp3.000, mobil Rp5.000/ kendaraan.
Ada live music dari musisi lokal, pengunjung bisa menyanyi dengan iringan mereka. Untuk anak-anak, ada beberapa mainan seperti sepeda listrik, mobil-mobilan bertenaga aki, ada pula pancing ikan mainan.
Setelah mengitari beberapa sudut, kami segera mengantri untuk naik perahu. Bagi anak kami, ini bukan kali pertama dia naik kapal. Semua jenis kendaraan darat, air, dan udara ia sudah pernah naiki. Tapi yang pertama bagi kami yang sudah dewasa, yang sudah melanglang ke banyak kota.
Meski tidak seluas Danau Toba, naik perahu di Rawa Pening ini menimbulkan dag-dig-dug juga. Nanti kalau kenapa-kenapa bagaimana? Melihat anak kami antusias mau naik perahu, ketakutan kami langsung sirna.
Hari itu hari terakhir libur. Meski tidak penuh, pengunjung cukup padat. Syukur antriannya tidak lama. Biaya per kapal Rp120.000, bisa diisi oleh 5 orang dewasa, untuk mengitari Rawa Pening selama 30 menit.
Satu persatu kami telah memakai pelampung, tak ketinggalan anak kami (2 tahun). Ternyata pelampungnya kebesaran buatnya, menutup mulut dan sebagian wajahnya, hahaha. Kasihan, tapi demi keselamatan. Kami rombongan dengan dua unit perahu.
Biasanya anak kami akan menangis jika mengunjungi tempat atau melihat hal baru. Tapi, dia menurut saja dipakaikan pelampung. Sepanjang naik perahu ia juga anteng. Sesekali berdadah dengan om dan tantenya di perahu satunya di sana. Sesekali mau duduk di bangku tengah dengan Mbah.
Seru juga lho bisa berwisata naik perahu bersama keluarga. Apalagi lokasinya dekat dari rumah. Â Perbukitan membiru di jauh sana jadi background yang indah. Enceng gondok mewarnai beberapa sudut Rawa Pening.Â
Bagi ibuku, ini tentu yang pertama. Kerja keras telah menyita sebagian besar waktunya, jarang piknik. Bapakku? Anti-piknik. Perjalanan ini pun dia hampir tidak ikut.
30 menit berlalu. Puji Tuhan, kami mendarat dengan selamat. Kami mencari tempat duduk buat rehat. Bekal snack dan minum dinikmati. Si bayi asyik bermain tangga dan seluncuran yang tersedia.
Kami lanjut berjalan melewati 'isi perut' ular naga yang berisi beberapa tempat wisata sekitar Salatiga dan Semarang. Kenapa ada patung ular naga?
Nah, ini menariknya. Sambil anak kami heboh ingin naik mobil-mobilan (dia fans berat mobilan), aku menjelaskan legenda Rawa Pening pada istriku. Selain naturalis, kami tertarik belajar sejarah.
"Jadi gini ceritanya mah..." ujarku bak guru sejarah sambil kutunjukkan relief legenda. Di Desa Ngasem, di kaki gunung Telomoyo hidup suami istri, Ki Hajar dan Nyai Selakanta. Lama menikah, mereka belum punya anak.
Ki Hajar pergi bertapa ke lereng Gunung Telomoyo. Nyai Selakanta pun mengandung dan melahirkan ular naga yang bisa berbicara, diberi nama Baru Klinting--nama tombak Ki Hajar.
Baru Klinting diminta menemui ayahnya yang sedang bertapa. Mulanya Ki Hajar tak percaya ia anaknya. Tombak yang dibawa Baru Klinting buktinya. Belum cukup, Ki Hajar memintanya mengitari Gunung Telomoyo sampai kepala dan ekor bersatu.
Warga desa berburu hewan di hutan untuk pesta. Salah satu mereka menebas sesuatu seperti kayu. Tetiba keluar darah, ternyata ular besar. Warga pun membawa pulang daging itu untuk pesta.
Muncullah anak lelaki yang kulitnya penuh borok dan berbau busuk. Ia lapar, hendak minta makan pada warga di kampung. Namun, semua warga justru mengusirnya.
Tibalah Baru Klinting di sebuah rumah kayu, ditinggali seorang nenek. Nenek ini murah hati dan memberinya makan. Baru Klinting berpesan agar kalau hujan deras si nenek harus naik lesung dan membawa alu.
Baru Klinting menantang semua warga desa mencabut sebatang lidi yang ia tancapkan di tanah. Tak seorang pun sanggup, sekuat apa pun berusaha.
Dengan mudah, Baru Klinting mencabut lidi. Lalu keluar air dari bekas lidi, memancar tak henti-henti. Semua warga tenggelam kecuali nenek baik hati itu. "...Tempat itu kini menjadi Rawa Pening. Di depan gerbang tadi ada patung naga, itu Baru Klinting mah." pungkasku.
Tak hanya anakku yang heboh, para sepupu dan Mbah pun tak ketinggalan untuk menjajal sepeda listrik. Tak apalah ya, kalau tak di tempat wisata mungkin takkan pernah naik sepeda listrik juga.
Begitulah. Bukan cuma tempat memukau, liburan adalah waktu berkualitas bersama keluarga. Bisa rame-rame naik kapal mengitari Rawa Pening, menjajal permainan bersama si bayi, sepupu, dan Mbah. Bisa belajar sejarah pula tentang Rawa Pening.
Habis liburan, semoga kembali semangat buat bekerja ya! --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H