Nah, ini menariknya. Sambil anak kami heboh ingin naik mobil-mobilan (dia fans berat mobilan), aku menjelaskan legenda Rawa Pening pada istriku. Selain naturalis, kami tertarik belajar sejarah.
"Jadi gini ceritanya mah..." ujarku bak guru sejarah sambil kutunjukkan relief legenda. Di Desa Ngasem, di kaki gunung Telomoyo hidup suami istri, Ki Hajar dan Nyai Selakanta. Lama menikah, mereka belum punya anak.
Ki Hajar pergi bertapa ke lereng Gunung Telomoyo. Nyai Selakanta pun mengandung dan melahirkan ular naga yang bisa berbicara, diberi nama Baru Klinting--nama tombak Ki Hajar.
Baru Klinting diminta menemui ayahnya yang sedang bertapa. Mulanya Ki Hajar tak percaya ia anaknya. Tombak yang dibawa Baru Klinting buktinya. Belum cukup, Ki Hajar memintanya mengitari Gunung Telomoyo sampai kepala dan ekor bersatu.
Warga desa berburu hewan di hutan untuk pesta. Salah satu mereka menebas sesuatu seperti kayu. Tetiba keluar darah, ternyata ular besar. Warga pun membawa pulang daging itu untuk pesta.
Muncullah anak lelaki yang kulitnya penuh borok dan berbau busuk. Ia lapar, hendak minta makan pada warga di kampung. Namun, semua warga justru mengusirnya.
Tibalah Baru Klinting di sebuah rumah kayu, ditinggali seorang nenek. Nenek ini murah hati dan memberinya makan. Baru Klinting berpesan agar kalau hujan deras si nenek harus naik lesung dan membawa alu.
Baru Klinting menantang semua warga desa mencabut sebatang lidi yang ia tancapkan di tanah. Tak seorang pun sanggup, sekuat apa pun berusaha.
Dengan mudah, Baru Klinting mencabut lidi. Lalu keluar air dari bekas lidi, memancar tak henti-henti. Semua warga tenggelam kecuali nenek baik hati itu. "...Tempat itu kini menjadi Rawa Pening. Di depan gerbang tadi ada patung naga, itu Baru Klinting mah." pungkasku.
Tak hanya anakku yang heboh, para sepupu dan Mbah pun tak ketinggalan untuk menjajal sepeda listrik. Tak apalah ya, kalau tak di tempat wisata mungkin takkan pernah naik sepeda listrik juga.