Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengenal Sejarah, Kunjungan ke Palagan Ambarawa

31 Desember 2023   20:11 Diperbarui: 1 Januari 2024   13:49 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak bayi main mobil-mobilan bersama Mbah | dokumentasi pribadi 

Sejarah hanyalah sejarah, jika wisata sejarah ditinggalkan demi wisata modern.

***

Aku tidak suka sejarah. Sebab, cara guruku mengajar yang monolog. Namun, mulai suka sejarah sejak suka membaca dan harus mengajar sejarah untuk anak SD.

Sejarah memang kenangan masa lalu. Namun nilainya penting sebagai panduan untuk masa kini dan masa depan. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, ujar Soekarno.

Wisata sejarah mungkin tidak seatraktif wisata modern dengan beragam wahana yang memacu adrenalin, Instagramable, maupun interaktif. Benda-benda di museum, misalnya. Kumpulan benda mati itu tidak menarik dari sisi mana pun. Sedangkan saat ini media sosial dan beragam aplikasi menampilkan sajian yang lebih menarik.

Sebutlah Tiktok, Instagram, dan Youtube. Meski menarik, alih-alih mendidik, konten yang disuguhkan di sana justru menjerumuskan, jika tak mau disebut membodohi. Nilai edukasi dan hiburannya minim, kebanyakan justru destruktif.

Tak sedikit konten di medsos yang menampilkan adegan kekerasan, pornografi, kata-kata kasar, hingga paham LGBT. Konten kartun yang mana untuk anak-anak pun tak luput dari "virus" ini.

Kita tidak ingin anak kita dibentuk dengan cara-cara yang merusak. Setuju?

Itulah sebab, kami tidak rela membiarkan anak tenang di depan layar HP. Khususnya di masa liburan ini. Kami selingi kegiatan anak dengan berkunjung ke tempat Mbah dan berwisata di sekitar tempat tinggal.

Suatu akhir pekan kami memutuskan mengajak anak berkunjung ke Museum Palagan Ambarawa dengan mengajak serta Mbah. Tujuan utamanya tentu refreshing. Kedua, mengajak Mbah jalan-jalan, supaya tidak kerja terus. Ketiga, edukasi sejarah pada anak.

Ada banyak tempat dan wahana di sekitar kami yang bisa dieksplorasi bersama anak. Entah kawasan persawahan, perkebunan, wisata alam maupun wisata sejarah. Kalau jalan-jalan ke sawah, sudah biasa minim seminggu sekali.

Kali ini kami ajak anak ke wisata sejarah, supaya anak tidak tergoda bermain HP. (Harus diakui, susah memisahkan anak dari HP sedang ia melihat kami memakai HP.)

Kedua, Mbah (ayah-ibuku) adalah tipe manusia pekerja keras. Nampaknya takdir menyeret mereka untuk hidup bekerja keras, bukan untuk piknik, padahal dua anaknya sudah menikah. Seingatku, piknik terakhir adalah saat aku SD. Bersama rombongan orang sedesa ke Jogja. Pernah liburan ke Simalungun sih, saat nikahanku dan istri.

Mengajak Mbah jalan-jalan| dokumentasi pribadi 
Mengajak Mbah jalan-jalan| dokumentasi pribadi 

Waktu itu pandemi Covid-19, harus tes antigen dan naik pesawat. Seumur hidup, ini pertama mereka naik pesawat. Itu pun kesannya biasa buat mereka.

Kami mau ajak Mbah jalan-jalan barang sebentar bareng si kecil. Maksudnya supaya bisa bantu momong, hehe. Kami pilih Museum Palagan Ambarawa, sekitar 30 menit dari rumah Mbah. Meski tidak menghilangkan beban Mbah, setidaknya mereka bisa mengambil jeda dari kerja keras. Bermain dengan sang cucu.

Tersedia pendopo untuk pengunjung | dokumentasi pribadi 
Tersedia pendopo untuk pengunjung | dokumentasi pribadi 

Berikutnya tentang edukasi sejarah. Ini yang tak kalah penting. Saat ini, berapa anak muda yang mau berkunjung ke museum? Konten di medsos sangat menarik buat anak muda saat ini. Tak usah beranjak, cukup duduk di kursi dan menatap layar. Mau cari konten apapun, ada.

Anak bayi antusias melihat replika pesawat terbang | dokumentasi pribadi 
Anak bayi antusias melihat replika pesawat terbang | dokumentasi pribadi 

Gempuran wisata modern maupun kafe juga tak kalah menggoda. Orang lebih memilih ke sini dibanding ke museum. Bisa makan, berfoto dan bermain, menikmati waktu bersama keluarga. Tak peduli jika sesak mengantri, mau parkir pun susah. Tak soal jika harga menunya mahal.

Jika begitu, siapa yang mau melestarikan wisata sejarah? Siapa yang mau meneruskan kisah perjuangan masa lalu?

Anak bayi naik eks kereta uap dengan Mbah | dokumentasi pribadi 
Anak bayi naik eks kereta uap dengan Mbah | dokumentasi pribadi 

Tak heran museum seperti Palagan Ambarawa ini sepi pengunjung. Saat kami datang, hanya satu dua mobil yang parkir, tanpa ada sepeda motor.

Dari ulasan warganet di Google juga menyatakan sepi. Suasananya tenang, cocok untuk menikmati suasana.

Ada fasilitas seperti toilet, kantin dan semacam pendopo. Eks peralatan perang pun disajikan dengan rapi. Ada tank, truk, pesawat, dan kereta uap. Meski salah satu warganet berujar, koleksinya tidak sebanyak waktu ia kecil berkunjung ke sini. Ke mana koleksi benda-benda perjuangan ini? Entahlah.

Eks kendaraan perang di Palagan Ambarawa| foto: KRAISWAN 
Eks kendaraan perang di Palagan Ambarawa| foto: KRAISWAN 

Anak kami menjelajah beberapa wahana yang ada. Mau duduk barang 30 detik, setelah itu kabur lagi. Sesekali kami jelaskan bahwa benda-benda ini adalah peralatan tempur di masa lalu.

Palagan Ambarawa menjadi salah satu saksi sejarah bagaimana para pahlawan dengan gigih mempertahankan kemerdekaan dari Inggris dan Sekutu. Di Semarang, Surabaya, Medan, dan kota-kota lain mengusahakan perjuangannya demi kemerdekaan Indonesia.

Anak kami usia dua tahun, apakah ia sudah mengerti? Mungkin belum. Tapi kalau tidak diajak ke sini, maka tidak tahu sama sekali bukan?

Anak bayi main mobil-mobilan bersama Mbah | dokumentasi pribadi 
Anak bayi main mobil-mobilan bersama Mbah | dokumentasi pribadi 

Kami dokumentasikan dengan foto, dan kami unggah di blog. Biar kelak saat ia remaja ia tahu pernah diajak berkunjung ke museum.

Oya, untuk nama-nama kendaraan di sini, sebagian besar anak kami sudah tahu. Kami sudah perkenalkan nama-nama hewan, kendaraan, warna, buah-buahan dan benda-benda sekitar sejak dini.

Demikian cara sederhana kami mengenalkan sejarah kepada anak, sebelum museum tenggelam akibat dunia digital. --KRAISWAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun