Ada banyak tempat dan wahana di sekitar kami yang bisa dieksplorasi bersama anak. Entah kawasan persawahan, perkebunan, wisata alam maupun wisata sejarah. Kalau jalan-jalan ke sawah, sudah biasa minim seminggu sekali.
Kali ini kami ajak anak ke wisata sejarah, supaya anak tidak tergoda bermain HP. (Harus diakui, susah memisahkan anak dari HP sedang ia melihat kami memakai HP.)
Kedua, Mbah (ayah-ibuku) adalah tipe manusia pekerja keras. Nampaknya takdir menyeret mereka untuk hidup bekerja keras, bukan untuk piknik, padahal dua anaknya sudah menikah. Seingatku, piknik terakhir adalah saat aku SD. Bersama rombongan orang sedesa ke Jogja. Pernah liburan ke Simalungun sih, saat nikahanku dan istri.
Waktu itu pandemi Covid-19, harus tes antigen dan naik pesawat. Seumur hidup, ini pertama mereka naik pesawat. Itu pun kesannya biasa buat mereka.
Kami mau ajak Mbah jalan-jalan barang sebentar bareng si kecil. Maksudnya supaya bisa bantu momong, hehe. Kami pilih Museum Palagan Ambarawa, sekitar 30 menit dari rumah Mbah. Meski tidak menghilangkan beban Mbah, setidaknya mereka bisa mengambil jeda dari kerja keras. Bermain dengan sang cucu.
Berikutnya tentang edukasi sejarah. Ini yang tak kalah penting. Saat ini, berapa anak muda yang mau berkunjung ke museum? Konten di medsos sangat menarik buat anak muda saat ini. Tak usah beranjak, cukup duduk di kursi dan menatap layar. Mau cari konten apapun, ada.
Gempuran wisata modern maupun kafe juga tak kalah menggoda. Orang lebih memilih ke sini dibanding ke museum. Bisa makan, berfoto dan bermain, menikmati waktu bersama keluarga. Tak peduli jika sesak mengantri, mau parkir pun susah. Tak soal jika harga menunya mahal.
Jika begitu, siapa yang mau melestarikan wisata sejarah? Siapa yang mau meneruskan kisah perjuangan masa lalu?