Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Pilih Anak Meronta Tanpa HP atau Anak Diam karena HP?

16 Desember 2023   08:24 Diperbarui: 17 Desember 2023   15:00 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak dan gadget (shutterstock via kompas.com)

Emang bisa pengasuhan anak zaman now tanpa HP?

***

Awal mula kami mengenalkan HP pada anak kami adalah saat ia masih dalam kandungan. Kami perdengarkan lagu-lagu Mozart yang konon bisa menstimulus pertumbuhan saraf sehingga anak menjadi cerdas. Menjelang ia berumur setahun, waktu masih belum tengkurap, kami putarkan lagu-lagu Sekolah Minggu.

Usia setahun lebih sedikit, anak kami bisa tengkurap hingga duduk. Beberapa kali saat istriku harus melakukan suatu pekerjaan, misalnya memasak atau harus BAB, salah satu strategi yakni memberinya tontonan dari Youtube. Anak kami di kursi bayi, HP disandarkan di atas meja, berjarak dari anak.

Usia dua tahun, anak kami makin sering mendapat tontonan dari Youtube. Entah untuk media pembelajaran, atau mengenalkan lagu-lagu. Apalagi kalau sedang sakit dan tidak mau makan. Dari pada kelaparan dan tak kunjung sembuh, kami terpaksa memberi tontonan Youtube.

Terkini, jika sudah bosan dengan mainan dan buku saku yang beragam rupa itu, atau saat tahu mamanya memegang HP, ia akan minta menonton dari HP juga.

Terjawablah pertanyaan di atas. Mustahil zaman now mengasuh anak tanpa HP. Kalau tidak diberi, padahal anak ingin bermain HP ia akan menangis meronta-ronta. Lebih baik berikan HP, supaya anak diam dan tidak menangis. Demikian pola pikir Mbah dan orangtua yang enggan repot.

Eitss, tunggu dulu...

Ada kisah nyata tentang bahaya memberi HP pada anak terlalu dini. Pertama, anak kami jika sudah menonton, ia mau makan tapi sering ditahan di mulut, bukan dikunyah. Dan kalau tidak sangat lapar, makannya akan lama selesai.

Kalau sedang asyik menonton, ia tidak menyahut jika dipanggil. Biasanya aku pulang kerja ia menyambutku, minta diajak muter kompleks atau menanyakan oleh-oleh. Kalau pegang HP, boro-boro disambut. Ditengok pun tidak.

Anak bayi bermain HP | foto: THINKSTOCK.COM via tribunkaltim.co
Anak bayi bermain HP | foto: THINKSTOCK.COM via tribunkaltim.co

Kisah kedua dialami teman Gareng, namanya Petruk. Petruk adalah guru di sebuah Sekolah Dasar, ia mengajar kelas 6. Mayoritas muridnya sudah diberi HP pribadi oleh orangtua. Salah satu pendorongnya yakni karena pandemi Covid-19 di mana anak harus mengikuti PJJ/ belajar dari rumah. HP menjadi kebutuhan wajib untuk pembelajaran.

Ternyata, murid-muridnya kebablasan memakai HP. Mereka membuat grup WA yang anggotanya hampir satu kelas. Yang jadi masalah, isi chat di grup itu membahas kosa kata tidak sopan, yakni pesan, gambar, GIF, stiker hingga link video untuk orang dewasa. Anak SD ini loh! Petruk sampai prihatin mendalam dibuatnya.

Dalam pelajaran IPA kelas 6 sudah mendapat materi tentang organ reproduksi. Tapi mereka menyalahgunakan kosa kata dalam reproduksi itu untuk mengejek dan saling menghina temannya. Ini sudah masuk kategori kekerasan seksual secara verbal.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Kan memang sudah zamannya internet, akses pada semua jenis konten bisa menerpa anak-anak. Tapi, anak tidak akan kejauhan apalagi sampai membuat grup dan saling berkirim pesan secara masif kalau tidak diberi HP pribadi. Betul?

Kembali ke anakku. Jangankan anak SD, anakku yang baru dua tahun sudah tahu meminta HP, merengek jika tidak diberi. Ia juga sudah tahu di mana halaman pada HP, di mana folder yang berisi aplikasi Youtube. Jika satu konten sudah selesai, konten berikutnya tidak sesuai selera, ia bisa swipe up untuk mengganti konten lain yang ia mau.

Canggih kan?

Itu pun masih dalam pengawasan kami. Anda bisa bayangkan kalau anak-anak dipercayakan HP pribadi sejak dini. Kejadian seperti murid-murid Petruk bisa saja terjadi, bahkan bisa lebih parah.

Banyak orangtua yang bapak ibunya sibuk bekerja, lalu mempercayakan anak pada Mbah atau pembantu. Lalu supaya tidak rewel diberi HP untuk menonton kartun anak-anak di Youtube. (Aslinya Youtube adalah belantara konten yang disisipkan muatan kekerasan dan paham LGBT.) Saat di restoran atau tempat makan supaya tidak banyak tingkah, biarkan menonton atau bermain HP. (Ingat anakku yang jika dipanggil menoleh pun tidak saat menonton?)

Orangtua pemilik otoritas

Sebelum tujuh belas tahun, anak masih bergantung penuh pada orangtua, temasuk tentang HP. Orangtua yang membelikan HP dan mengisi paket data atau membayar tagihan wifi.

Betapa pun repotnya kami (aku bekerja, istri mengurus rumah), kami mengasuh anak kami sendiri. Sesekali saja minta bantuan Mbah untuk menjaga si kecil. Meski anak sudah tahu memakai HP dan pasti tenang jika sudah memakai HP, kami tidak akan memberinya sebelum ia bisa diajari tanggung jawab. (Baca: tidak punya uang).

Kalau mau menonton Youtube, kami pinjami dari HP istri atau HP-ku dan waktunya terbatas. Kami yang pegang otoritas. HP istri sering jadi korban karena ia 24 jam bersama anak. Jika si anak tidak hati-hati saat mengambil, HP mamanya pun jatuh. Layarnya bergaris-garis, dan salah satu sudutnya sudah hitam.

Sedih nggak? Itu harga yang harus dibayar. Daripada anak diserahkan pada HP, lalu ia jadi kecanduan dan susah didisiplin apalagi sampai terjebak dalam konten yang merusak.

WHO bahkan melarang keras anak di bawah dua tahun bermain HP. Hal ini supaya anak bisa melakukan kegiatan fisik dan istirahat cukup, sehingga bisa bertumbuh optimal dan lebih sehat.

Sering anak kami meronta-ronta karena minta mainan HP tapi tidak kami beri. Teriak-teriak, rebahan di lantai, berisik. Ada indikasi tantrum. Tapi, kalau kreatif kita bisa mengalihkan pada hal yang lain. Misalnya menggambar, memakai mobil-mobilan/ boneka, atau jalan-jalan di sekitar kompleks.

Duet main 'drum' dengan anak seru juga | dokumentasi pribadi
Duet main 'drum' dengan anak seru juga | dokumentasi pribadi

Tak kalah menarik, kita bisa pakai barang-barang di rumah untuk memancing kreatifitas anak. Anak kami suka memainkan benda-benda yang bisa dipencet dan bersuara nyaring. Toples, ember, panci, kaleng, sendok sayur stainles, dan semua yang bisa berbunyi.

Suatu hari aku keidean mengajaknya main drum-drum-an dari kaleng kue bekas. Ternyata seru. Aku berduet ngedrum dengan anakku. Aslinya aku pengen ngedrum sejak dulu. Baru kesampaian sekarang.

Di medsos banyak sekali aktivitas edukatif yang bisa dilakukan orangtua dengan anak, dengan bahan-bahan di sekitar. Meski repot, capek dan mungkin rumah berantakan. Itu sepadan, daripada anak diam karena HP. --KRAISWAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun