Aku mengalami sendiri, bahwa tindakanku di masa lalu berdampak bagi masa kini. Kira-kira saat SMP (berarti sekitar sepuluh tahun), aku menanam bibit alpukat dari biji. Bijinya seberapa berkualitas, pohonnya bagus atau tidak, cukup nutrisi atau tidak; aku tak peduli. Pokoknya aku tanam saja.
Saat masa kuliah, pohon itu berbuah juga. Meski tak lebat, rasanya manis, gurih, dan lezat. Tiap tahun alpukat itu rutin berbuah. Saat menikah dan punya anak, istri dan anakku bisa makan alpukat itu.
Menunggu sepuluh tahun amat lama rasanya. Tapi hasilnya sepadan jika sejak sepuluh tahun lalu mulai menanam.
Kapan lalu aku dan istri mengajak anak belanja bibit pohon buah. Kami putuskan beli bibit pohon mangga, alpukat, dan tentu saja duren.
Saat beli bibit, anak kami berusia dua tahun. Bibit cangkokan bisa berbuah kira-kira 5 tahun (2x lebih cepat dari biji). Maka, saat anak kami masuk SD, harusnya ia bisa mengecap buahnya. Keren.
Kerinduan kami ingin membuat kebun buah di kebunnya Mbah. Kalau terlalu muluk, setidaknya bisa panen buah untuk dimakan sendiri.
Lebih dari itu, kebiasaan menanam pohon sebagai wujud kepedulian pada kelestarian alam perlu ditanamkan pada anak sejak dini. Apalagi di era TikTok, di mana anak makin apatis, tidak peka, dan rapuh saat menghadapi tantangan.
Harusnya kecintaan anak pada alam dan lingkungan membentuknya jadi pribadi lebih kuat, adaptif dan peduli.