Kesimpulan dari gelar perkara yakni ditemukan unsur dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan, dengan kata lain gratifikasi atau pemberian suap.
Pihak Polda Metro Jaya telah memeriksa 91 orang saksi. Penyidik telah melakukan penyitaan terhadap barang bukti berupa dokumen penukaran vallas dalam pecahan SGD dan USD dari beberapa outlet money changer dengan total Rp7,4 miliar sejak Februari 2021 sampai September 2023.
Selain itu penyidik juga menemukan satu eksternal hard disk berisi ekstraksi data dari barang bukti elektronik yang telah disita dari KPK. Dalam pengusutan kasus ini, Ketua KPK Firli Bahuri dan puluhan pegawai KPK telah diperiksa untuk menguatkan alat bukti kasus tersebut.
Diduga telah terjadi pelanggaran Pasal 12 huruf e atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 20 tahun 2021 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sejumlah pegiat anti-korupsi menyebut penetapan tersangka pada Firli Bahuri adalah kabar baik bagi upaya pemberantasan korupsi. Dewan Pengawas Indonesia Corruption Watch, Dadang Trisasongko, menilai orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tidak layak memimpin KPK.
Dalam sejarah KPK, pimpinan yang menjadi tersangka bukan kali ini terjadi. Sebutlah Bibit Samad Riyanto, Chandra Hamzah, Bambang Widjojanto, dan Abraham Samad. Bedanya, keempat orang itu dianggap pahlawan oleh publik karena ada dugaan rekayasa kasus. Selain itu integritas Firli jauh di bawah standar yang dibutuhkan sebagai pimpinan.
Integritas yang dimaksud merujuk pada rekam jejak Firli saat menjabat Deputi Penindakan KPK pada 2018 melakukan beberapa pelanggaran kode etik. Firli bertemu dan menjemput saksi yang berperkara dengan KPK. Ia juga memakai helikopter dari perusahaan swasta dalam kunjungan pribadi.
Peneliti UGM, Zaenur Rohman, menyebut penetapan tersangka pada Firli adalah puncak tertinggi dari proses seleksi calon pimpinan KPK yang buruk. Sejak awal, masyarakat telah mendesak pansel untuk tak meloloskan Firli karena rekam jejak yang buruk.
Meski problematik, Firli diloloskan pansel. Artinya sejak awal para elit politik menghendaki sosok problematik menjadi pemimpin KPK, ditambah dengan revisi UU KPK. Akibar revisi ini, indepenpendensi KPK terganggu karena kerja KPK seperti penyadapan, penggeledahan dan penyitaan harus izin dewan pengawas (dewas).
Alih-alih memperkuat sistem pengawasan, keberadaan dewas justru melemahkan sistem. Menurut Dadang, satu-satunya cara memulihkan citra KPK adalah kembali merevisi UU KPK kembali seperti semula. Ia mengusulkan agar ada penambahan pasal yang mengatur imunitas bagi pimpinan KPK. Syaratnya, pimpinan KPK harus benar-benar berintegritas, bukan seperti Firli.
Untuk kembali mendapat kepercayaan publik, KPK harus membuktikan kinerjanya, demikian ungkap koordinator IM57+ Institute Praswad Nugraha. Atas kasus ini, Firli dijerat dengan Pasal 12 e atau Pasal 12 b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto pasal 65 KUHP, ancaman hukumannya penjara seumur hidup.