Mulanya, aku mengumumkan daftar lagu yang bisa dipilih murid. Mereka wajib menyanyi satu lagu. Tanpa iringan musik, harus hafal liriknya. Di kelas, aku memutarkan video yang ada lirik lagunya. Para murid diminta menyanyikan bersama-sama, aku pun ikut. Berikutnya aku jelaskan rubrik penilaiannya.
Bagaimana respons para murid?
Protes. Mengeluh. Banyak alasan. Mereka itu adalah murid yang biasa aktif bicara di kelas. Padahal beberapa murid yang tidak fasih berbahasa Indonesia pun (sebagian kelahiran luar negeri) malah tenang-tenang saja.
Padahal di kelas 5 mereka pernah praktik menyanyi. Menjelang tes tengah semester mereka juga sudah praktik menyanyi. Ini mau praktik lagi (sebagian lagunya pernah dinyanyikan di kelas 5) malah banyak yang protes.
Inilah mentalitas generasi TikTok. Berani di chat, story atau feed, praktik di kelas gentar. Biasa menenggelamkan diri di dunia maya, terdesak di dunia nyata.
Ndak usah nyanyi aja, Mister! Susah! Kan kita pernah menyanyi. Mungkin begitu pekik keluhan mereka. Ya elah, Nak... sudah ada perangkat teknologi pun kalian banyak mengeluh. Belum tahu rasanya di zaman Mister dulu.
Ketakutan yang berlebihan hanya menghabiskan energi. Sering kali, bahkan tidak terjadi.
Hari praktik menyanyi tiba. Baru saja para murid memberikan salam, aku langsung dihunjam dengan 'peluru' protes. But show must be go on...
Aku membuka website random wheel untuk mengacak urutan praktik berdasarkan nomor urut murid di daftar presensi. Seperti biasa, di awal banyak dari mereka dag-dig-dug syer... cemas kalau nama mereka disebut pertama. Nanti kalau salah, fales, atau lupa lirik.
Beberapa anak sudah maju. Tunggu, bumi masih berputar pada porosnya. Gaya gravitasi masih berlaku. Gwaenchanh-a yo... Gwaenchanh-a yo...
Maju tak gentar
Membela yang benar