Namun, ibu berbeda. Meski tak sekolah, ia berprinsip "Menikah adalah sekali seumur hidup." Jika ada kekurangan pasangan harus diterima. Tidak boleh bercerai. KEREN.
Jika ibu memilih berpisah, bakal menimbulkan masalah baru. Itu berarti masa depanku terancam. Aku bisa tidak sekolah.
Dalam hal rohani, aku berterima kasih pada para guru Sekolah Minggu. Meski tak bisa mengajarkan cerita Alkitab, ibu terus mendorongku rajin ke Sekolah Minggu, tak lupa memberi uang untuk persembahan. Melalui Sekolah Minggu, aku bisa belajar firman Tuhan. Ibu tak pernah menyerah mendukungku.
Ibu rela mengalah, menerima karakter bapak yang mungkin takkan berubah. Meski sering 'makan hati', ibu bertahan dan tetap menjalankan peran sebagai istri dan ibu. Ibu mengalah dan mengorbankan perasannya, agar aku bisa sekolah melalui bapak yang membiayai sekolahku. Meski hal ini tak selalu mulus.
Ketiga, mengawal mimpiku
Saat sekolah, aku ikut program Pusat Pengembangan Anak (PPA) di salah satu gereja di Salatiga. Jarak rumah ke gereja 7 km (jauh, belum populer kendaraan pribadi).
Angkudes masih susah, sedang jasa ojek tidak terjangkau. Sepulang kerja, ibu mengantarku berangkat PPA, jalan kaki.
Di siang hari yang terik, aku berjalan kaki bersama ibu, penuh keluhan. Capek, haus, dan panas. Tibalah kami di daerah Cungkup. Kami melewati gerbang sebuah SMA, pas murid-muridnya berhamburan keluar.
Ini menjadi kesempatan ibu 'menguliahi'-ku. "Lihat murid-murid yang memakai seragam putih-abu itu. Memang kamu tak mau seperti mereka, bisa sekolah yang tinggi?" ujar ibu.
"Mau." balasku singkat. "Kalau mau, kau harus belajar sungguh-sungguh dan tekun. Hidup itu seperti roda, ada senangnya, ada susahnya. Tinggal pilih, mau susah dulu atau senang dulu?" lanjut ibu, seolah aku bisa memilih hidup senang duluan.
Entah ibu mendapat ilmu dari mana. Dari kisah-kisah singkat itu menjadi cara ibu mengawal mimpiku (dan adik). Mimpi ayahku sebernarnya. Ibuku berharap aku punya kehidupan lebih baik darinya, bisa sekolah. Ayahku bermimpi aku menjadi guru.
Dengan pertolongan Tuhan, mimpi mereka terwujud. Ibu mengalah, tetap bertahan mendampingi ayah, agar aku bisa sekolah. Aku menjadi guru, dan hidup berkeluarga secara mandiri.