Pahlawan direpresentasikan sebagai sosok berkekuatan super untuk menumpas kejahatan. Atau mereka yang mengorbakan diri demi meraih kemerdekaan bangsa.
Anda setuju?
***
Aku suka menonton film superhero. Aku mengidolakan Iron Man (Tony Stark) yang diperankan oleh Robert Downey Jr. Tony adalah manusia biasa. Kebetulan ia cerdas, dan kaya---dari orang tuanya.
Dengan aset itu, ia bisa membuat baju besi super canggih untuk bertempur melawan para musuh yang kuat. Perisai yang dipakai Kapten Amerika juga buatan ayah Tony. KEREN! Jika di masa kecilku sudah ada film Iron Man, aku ingin menjadi dirinya.
Tapi, apakah karakter Iron Man membentuk hidupku? Tidak. Makin dewasa kita sadar, karakter pahlawan dalam film adalah fiktif. Lalu, adakah sosok nyata pahlawan dalam hidup kita?
ADA.
Sadar atau tidak, kehidupan kita dikelilingi banyak pahlawan, dimulai dari keluarga. Sosok itu mungkin ayah, ibu, kakak, adik, kakek, nenek, atau.... Anda sendiri.
Pahlawan pertamaku adalah orang tua, khususnya ibu. Tak hanya mengandung dan melahirkan, ibu menjadi pahlawanku bukan karena memiliki kekuatan super, melainkan justru hal-hal sederhana dalam dirinya.
Pertama, tidak bisa baca-tulis
Idealnya, pahlawan adalah sosok yang pintar, berwawasan luas serta pandai berbicara. Soekarno-Hatta, misalnya. Soekarno menjadi insinyur lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB). Mohammad Hatta bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) hingga Handels Hogeschool, Belanda.
Dengan kepandaian dan ilmunya, dwi tunggal itu menjadi pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan negara lain.
Kalau seseorang tidak bisa baca-tulis, bagaimana bisa jadi pahlawan...?
Di sinilah kehebatan ibu. Ia bersama keempat saudari dan satu kakak lelaki hidup dalam keluarga sederhana. Jangankan sekolah, buat makan sehari-hari pun susah.
Prihatin akan kondisi orang tuanya yang hanya buruh tani, ibu berprinsip tidak apa ia tidak sekolah asalkan adik-adiknya bisa sekolah.
Sanggupkah ibu bertahan di tengah gempuran zaman? Bisa. Entah bagaimana, ibu tahu membaca angka satu sampai 10, jam, tanggal, bahkan membedakan nilai mata uang. Aku yakin, semua karena pertolongan Tuhan.
Kedua, mau mengalah
Kata orang, mengalah artinya kalah. Tidak begitu dengan ibu. Mengalah hanya bisa dilakukan orang yang berjiwa besar.
Bapak dan ibu tidak pernah pacaran. Sadar adiknya juga antri untuk menikah (urut dari yang tua), ibu harus segera menikah. Oleh saudaranya, ibu dikenalkan kepada bapak (pembawaannya pekerja keras). Tanpa niat terlalu selektif, mereka pun menikah.
Ternyata, bapak berkarakter kolot, pelit, keras kepala, dan punya luka batin yang belum diselesaikan. Mereka sering bertengkar (hingga aku dewasa).Â
Meski tak pernah memukul, kata ibu bapak sering diam jika ada masalah. Dalam diamnya, bapak justru menambah masalah. Sekalinya bicara, keluar kata-kata kasar yang menyakiti hati.
Bapak juga kurang peka akan kebutuhan rumah tangga. Meski punya uang, ia menyimpan rapat untuk diri sendiri. Kalau ibu tidak kerja serabutan, belanga takkan mengepul.
Wanita mana yang tahan diperlakukan begitu? Bagi orang kebanyakan, pasti sudah berpisah. Orang menikah supaya bahagia, bukan menderita.
Namun, ibu berbeda. Meski tak sekolah, ia berprinsip "Menikah adalah sekali seumur hidup." Jika ada kekurangan pasangan harus diterima. Tidak boleh bercerai. KEREN.
Jika ibu memilih berpisah, bakal menimbulkan masalah baru. Itu berarti masa depanku terancam. Aku bisa tidak sekolah.
Dalam hal rohani, aku berterima kasih pada para guru Sekolah Minggu. Meski tak bisa mengajarkan cerita Alkitab, ibu terus mendorongku rajin ke Sekolah Minggu, tak lupa memberi uang untuk persembahan. Melalui Sekolah Minggu, aku bisa belajar firman Tuhan. Ibu tak pernah menyerah mendukungku.
Ibu rela mengalah, menerima karakter bapak yang mungkin takkan berubah. Meski sering 'makan hati', ibu bertahan dan tetap menjalankan peran sebagai istri dan ibu. Ibu mengalah dan mengorbankan perasannya, agar aku bisa sekolah melalui bapak yang membiayai sekolahku. Meski hal ini tak selalu mulus.
Ketiga, mengawal mimpiku
Saat sekolah, aku ikut program Pusat Pengembangan Anak (PPA) di salah satu gereja di Salatiga. Jarak rumah ke gereja 7 km (jauh, belum populer kendaraan pribadi).
Angkudes masih susah, sedang jasa ojek tidak terjangkau. Sepulang kerja, ibu mengantarku berangkat PPA, jalan kaki.
Di siang hari yang terik, aku berjalan kaki bersama ibu, penuh keluhan. Capek, haus, dan panas. Tibalah kami di daerah Cungkup. Kami melewati gerbang sebuah SMA, pas murid-muridnya berhamburan keluar.
Ini menjadi kesempatan ibu 'menguliahi'-ku. "Lihat murid-murid yang memakai seragam putih-abu itu. Memang kamu tak mau seperti mereka, bisa sekolah yang tinggi?" ujar ibu.
"Mau." balasku singkat. "Kalau mau, kau harus belajar sungguh-sungguh dan tekun. Hidup itu seperti roda, ada senangnya, ada susahnya. Tinggal pilih, mau susah dulu atau senang dulu?" lanjut ibu, seolah aku bisa memilih hidup senang duluan.
Entah ibu mendapat ilmu dari mana. Dari kisah-kisah singkat itu menjadi cara ibu mengawal mimpiku (dan adik). Mimpi ayahku sebernarnya. Ibuku berharap aku punya kehidupan lebih baik darinya, bisa sekolah. Ayahku bermimpi aku menjadi guru.
Dengan pertolongan Tuhan, mimpi mereka terwujud. Ibu mengalah, tetap bertahan mendampingi ayah, agar aku bisa sekolah. Aku menjadi guru, dan hidup berkeluarga secara mandiri.
Demikian kisah tentang ibu---pahlawan pertamaku. Terima kasih, pahlawanku!
***
Artikel ini membawaku menjadi juara 1 lomba menulis dalam rangka Bulan Keluarga 2023 GKI Salatiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H