Kalau seseorang tidak bisa baca-tulis, bagaimana bisa jadi pahlawan...?
Di sinilah kehebatan ibu. Ia bersama keempat saudari dan satu kakak lelaki hidup dalam keluarga sederhana. Jangankan sekolah, buat makan sehari-hari pun susah.
Prihatin akan kondisi orang tuanya yang hanya buruh tani, ibu berprinsip tidak apa ia tidak sekolah asalkan adik-adiknya bisa sekolah.
Sanggupkah ibu bertahan di tengah gempuran zaman? Bisa. Entah bagaimana, ibu tahu membaca angka satu sampai 10, jam, tanggal, bahkan membedakan nilai mata uang. Aku yakin, semua karena pertolongan Tuhan.
Kedua, mau mengalah
Kata orang, mengalah artinya kalah. Tidak begitu dengan ibu. Mengalah hanya bisa dilakukan orang yang berjiwa besar.
Bapak dan ibu tidak pernah pacaran. Sadar adiknya juga antri untuk menikah (urut dari yang tua), ibu harus segera menikah. Oleh saudaranya, ibu dikenalkan kepada bapak (pembawaannya pekerja keras). Tanpa niat terlalu selektif, mereka pun menikah.
Ternyata, bapak berkarakter kolot, pelit, keras kepala, dan punya luka batin yang belum diselesaikan. Mereka sering bertengkar (hingga aku dewasa).Â
Meski tak pernah memukul, kata ibu bapak sering diam jika ada masalah. Dalam diamnya, bapak justru menambah masalah. Sekalinya bicara, keluar kata-kata kasar yang menyakiti hati.
Bapak juga kurang peka akan kebutuhan rumah tangga. Meski punya uang, ia menyimpan rapat untuk diri sendiri. Kalau ibu tidak kerja serabutan, belanga takkan mengepul.
Wanita mana yang tahan diperlakukan begitu? Bagi orang kebanyakan, pasti sudah berpisah. Orang menikah supaya bahagia, bukan menderita.