Anak mengenal kasih orang tua dari lima huruf: W A K T U
Salah satu yang aku syukuri dalam hidup adalah waktu yang Tuhan percayakan. Untuk bekerja, melayani, melakukan hobi, untuk istirahat, dan tak boleh ketinggalan waktu bersama keluarga.
Sebagai guru, aku dituntut untuk disiplin dalam hal waktu, perbuatan hingga berpakaian. Guru iku digugu lan ditiru, panutan.
Aku harus berangkat sebelum jam 7 pagi---biasanya anak baru bangun menjelang aku berangkat. Kalau rewel, ia minta naik motor diajak keliling kompleks. Kadang cukup dengan naik motor matic sampai aku mengeluarkan dari teras ke tepi jalan.
Sorenya, aku pulang jam 3 dari kantor. Hampir setiap hari ada jadwal les tambahan. Jam 4 berangkat lagi, jam 5 lebih baru kembali ke rumah.
Badan sudah lelah, hari pun gelap. Maka hanya bisa main di dalam rumah, makan malam, lalu tidur. Di rumah tipe 44/72, dengan banyak barang, terasa sangat sempit untuk ruang gerak. Sesuai kesepakatan sejak pacaran, istriku berprofesi mengurus anak dan rumah tangga.
Pagi hari setelah mandi dan sebelum tidur siang, biasanya istriku mengajak anak kami berjalan-jalan keliling kompleks. Ini lumayan menjadi refreshing untuk anak kami. Ada taman baca di dekat GOR kompleks, ada beberapa wahana permainan seperti ayunan dan perosotan. Anak kami suka ke sana, dan biasanya susah diajak pulang.
Dari tujuh hari seminggu, hanya tiga hari aku luang, yakni Selasa (tidak ada murid les), Sabtu dan Minggu. Sedangkan hari Sabtu biasanya ada pekerjaan tambahan atau beberes rumah. Sesekali bisa jalan-jalan dengan anak, atau mengusahakan keintiman dengan pasangan (anak dititipkan ke Mbah). Sedang hari Minggu full untuk Sekolah Minggu dan Ibadah.
Sungguh waktu hidup ini singkat, cepat sekali berlalu. Baru saja anak kami lahir, tetiba bisa berbaring, menegakkan kepala, lalu duduk, bisa merangkak dan berdiri berpegangan pada kursi atau lemari. Menjelang setahun, ia sudah bisa berjalan. Sekarang? Polahnya seperti baling-baling helikopter, entah bangun atau tidur.
Aku bersyukur, dalam semua kesibukanku diizinkan menemani dan menyaksikan perkembangan anak kami. Maka, salah satu bentuk komitmenku untuk meluangkan waktu bagi keluarga adalah tidak mengambil les tambahan setiap hari.
Sabtu adalah waktu terbaik untuk menikmati bersama anak dan istri. Itu pun kalau tidak ada pekerjaan tambahan.
Seperti minggu lalu, misalnya. Agendaku cukup padat dari pagi sampai sore. Lima hari sudah penuh agenda, masa hari Sabtu juga mau menyisakan waktu buat istri dan anak?
Maka aku sudah mengatur strategi dengan istri. Paginya kami belanja ke pasar. Setelahnya menemani si anak bayi berenang di kolam renang umum Kalitaman, dekat dengan SMP-ku dulu.
Hari itu sangat ramai, banyak anak sekolah dari jenjang SD hingga SMA berenang di sini. Melihat kerumunan manusia di kolam itu, anak bayi kami antusias. Saat diganti pakaian renang, ia melihat di kolam dangkal ada ember di atas menara, yang kalau penuh isinya tumpah  dengan efek "Byuuurr!!!"
Belum juga masuk di air, si bayi sudah "aok pita puang..." (Ayo, kita pulang) Gawat. Anak kami sering jatuh dan terbentur tangan, lutut, sampai kepalanya; ia tak ada kapok atau trauma. Namun jika melihat suara kencang, ledakan kembang api, kilatan petir, atau suara membahana seperti air di ember yang tumpah itu ia malah takut.
Mana sudah bayar masuk sini, masa langsung pulang. Biar afdol, aku mencelukannya sekali dua ke kolam. Itu pun ia hanya mau sekali-dua, berikutnya dipegangnya tanganku erat melekat dalam gendongan. Istriku juga menyempatkan berenang. Aku tetap menjaga si kecil (baca: tak bisa berenang).
Inilah salah satu motivasi kami rutin mengajak anak ke kolam renang. Supaya ia tidak takut air, nanti di usia tiga tahun akan diikutkan kursus berenang. Ini penting sebagai salah satu keterampilan bertahan hidup, supaya tidak payah seperti bapaknya.
Selesai berenang, istriku mengantri untuk bilas dan ganti baju. Aku dan anak duluan mendekati pintu keluar. Ada sebuah taman dengan pohon beringin sebagai pusat. Ada beberapa wahana seperti ayunan, jungkat-jungkit dan tempat duduk. Si anak sudah antusias sejak naik anak tangga.
Kami segera pulang, si anak sudah capek dan mendekati jam tidurnya. Aku harus bersiap untuk agenda berikutnya. Pertama, jam 11.00 pertemuan dengan tim gereja untuk membuat naskah cerita perayaan Natal anak. Aku dipercaya menjadi salah satu penulis skrip. Kedua, jam 13.00 'pembubaran' panitia fieldtrip sekolah.
Ketiga, jam 15.00 latihan musik untuk mengiringi Sekolah Minggu esok. Biasanya, Sabtuku tidak sepadat ini. Istriku ada PKK jam 16.00. Di usia dua tahun ini, si anak tidak kondusif lagi untuk menemani mamanya PKK. Akulah yang bertugas menjaganya. Aku mengajaknya di tepi jalan raya untuk melihat kendaraan (doi ngefans kendaraan) sambil menyantap kentang goreng.
Di sini aku merenung, aku boleh sibuk, terbang setinggi bintang. Tapi aku tetap harus meluangkan waktu dengan anak. Bagaimana pun, aku harus menjalankan peran sebagai ayah bagi anakku.
Aku harus memberinya teladan tentang ketegasan, keberanian, dan prinsip hidup. Apalagi di tengah dunia yang makin berdosa ini. Kalau ayah tidak hadir sepenuhnya (atau hadir hanya secara fisik), maka anak bisa terhambat pertumbuhannya.
Marak fenomena fatherless di Indonesia maupun di mancanegara. Fatherless diartikan anak yang tumbuh tanpa sosok ayah. Hal ini bisa menjadi masalah di masyarakat.
Fatherless bisa berdampak buruk bagi perkembangan anak, yakni gangguan emosi, perilaku, kepercayaan diri yang rendah, kesulitan dalam bersosial, serta kurangnya dukungan sosial dan finansial. (halodoc.com) Beberapa anak fatherless yang aku tahu juga menunjukkan emosi yang negatif jika menghadapi masalah.
Meski tidak bisa menjajikan banyak hal, aku ingin hadir meluangkan waktu bagi anakku. Ingat, anak mengenal kasih kita dari lima huruf: W A K T U. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H