Kami segera pulang, si anak sudah capek dan mendekati jam tidurnya. Aku harus bersiap untuk agenda berikutnya. Pertama, jam 11.00 pertemuan dengan tim gereja untuk membuat naskah cerita perayaan Natal anak. Aku dipercaya menjadi salah satu penulis skrip. Kedua, jam 13.00 'pembubaran' panitia fieldtrip sekolah.
Ketiga, jam 15.00 latihan musik untuk mengiringi Sekolah Minggu esok. Biasanya, Sabtuku tidak sepadat ini. Istriku ada PKK jam 16.00. Di usia dua tahun ini, si anak tidak kondusif lagi untuk menemani mamanya PKK. Akulah yang bertugas menjaganya. Aku mengajaknya di tepi jalan raya untuk melihat kendaraan (doi ngefans kendaraan) sambil menyantap kentang goreng.
Di sini aku merenung, aku boleh sibuk, terbang setinggi bintang. Tapi aku tetap harus meluangkan waktu dengan anak. Bagaimana pun, aku harus menjalankan peran sebagai ayah bagi anakku.
Aku harus memberinya teladan tentang ketegasan, keberanian, dan prinsip hidup. Apalagi di tengah dunia yang makin berdosa ini. Kalau ayah tidak hadir sepenuhnya (atau hadir hanya secara fisik), maka anak bisa terhambat pertumbuhannya.
Marak fenomena fatherless di Indonesia maupun di mancanegara. Fatherless diartikan anak yang tumbuh tanpa sosok ayah. Hal ini bisa menjadi masalah di masyarakat.
Fatherless bisa berdampak buruk bagi perkembangan anak, yakni gangguan emosi, perilaku, kepercayaan diri yang rendah, kesulitan dalam bersosial, serta kurangnya dukungan sosial dan finansial. (halodoc.com) Beberapa anak fatherless yang aku tahu juga menunjukkan emosi yang negatif jika menghadapi masalah.
Meski tidak bisa menjajikan banyak hal, aku ingin hadir meluangkan waktu bagi anakku. Ingat, anak mengenal kasih kita dari lima huruf: W A K T U. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H