Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Di Era Digital, Anak Muda Darurat Gangguan Mental

15 Oktober 2023   00:17 Diperbarui: 15 Oktober 2023   16:01 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang murid SD di Jakarta Selatan terjun dari lantai 4 di sekolahnya, diduga karena di-bully teman. Seorang murid kelas 2 SD di Gresik ditusuk matanya dengan tusuk bakso karena enggan memberi uang kepada kakak kelas. Seorang murid dikeroyok temannya di tempat terbuka, anak yang lain justru merekamnya.

Apa yang salah dengan anak-anak muda saat ini? Mentalnya kena.

***

Di masa remajaku, tahun 2000-an, alat komunikasi tercanggih adalah telepon kabel yang kebanyakan orang tidak tahu cara kerjanya. Meski hanya bermain dengan pelepah pisang, kaleng biskuit yang diadu dengan sendal, atau pistol-pistolan dari bambu; hidup kami bahagia tanpa gadget.

Ejek-ejekan dengan teman, saling menyebut nama dengan nama panggilan—betapa pun aneh, tidak sopan, dan jelek kedengarannya; kami sanggup melaluinya. Tidak ada istilah sakit hati apalagi kena mental.

Kenapa bisa begitu? Karena tidak ada internet. Kehidupan terasa normal, meski lambat dan serba terbatas.

Internet di satu sisi telah menghubungkan kita dengan seluruh dunia. Tapi di sisi lain, menyebarkan juga kepada kita segala informasi tiada henti. Mulai dari informasi yang benar dan bermanfaat, sampai yang salah dan merugikan.

Internet juga mendorong hadirnya media sosial, yang awal mula penciptaannya untuk menghubungkan yang jauh, meringkas jarak dan waktu. Namun perlahan menggantikan relasi maya, menyebabkan kita sering kesulitan untuk merespons dengan benar di dunia nyata.

Selain itu, media sosial menuntut kita untuk tampil sempurna, tidak boleh ada kekurangan. Jika tidak, komentar, kritikan sampai cibiran dari warganet harus siap dituai. Komentar yang tidak membangun, yang kontras dengan ekspektasi kita inilah yang bisa menimbulkan kekecewaan dan sakit hati. Padahal, sebelum ada internet, komentar pedas macam ini sudah biasa kita terima. Kisahku di masa kecil contohnya.

Aktivitas di media sosial ternyata meninggalkan jejak permanen, meski sudah dihapus sekalipun. Mustahil semua orang menyukai unggahan kita di media sosial, betapa pun kita sudah berusaha tampil sempurna.

Komentar negatif dari orang lain tentang kita meninggalkan luka bak paku yang menancap di kayu. Komentar itu dilihat orang lain, lalu mereka ikut menambah komentar yang juga negatif. Paku tertancap itu terkena air hujan, lalu berubah menjadi karat yang menggerogoti paku dan membusukkan kayu.

Betapa rapuhnya interaksi di media sosial. Rapuh juga mental kita dibuatnya. Jika tidak kuat dengan komentar negatif jadi stres, merasa di-bully, ujungnya b*nuh diri. Mengerikan. Para artis korea banyak mengalaminya. Kulit putih, hidung mancung, dan bakat cemerlang tidak membuat mereka tahan kritikan. Mentalnya kena.

Kenapa anak-anak muda kita juga bisa mengalami kelainan mental?

Lagi-lagi, internet menjadi ‘tersangka’. Sebenarnya internet sebagai infrastruktur digital tidak salah. Namun, ada pihak yang menyalahgunakan internet untuk menampilkan, dan mempropagandakan konten-konten yang negatif. Selain dari lingkungan, pertemanan dan keluarga, anak menyerap dan mempelajari apa yang dilihar dari media sosial dan film.

Konten tersebut ditonton berulang-ulang oleh anak-anak muda, bahkan anak SD. Mereka menyerap begitu saja apa yang ditonton lalu mempraktikkannya, tanpa berpikir panjang akibatnya. Bisa melukai orang lain, bahkan diri sendiri.

Di sisi lain, banyak kasus bullying atau tindak kenakalan anak dianggap sepele karena masih anak-anak. Persepsi semacam ini yang membuat bullying ‘abadi’ di lingkungan sekolah.

Tak hanya di kalangan anak-anak, kelainan/ gangguan mental juga dialami oleh orang dewasa. Youtuber Pyo Ye Rim meninggal di Waduk Seongjigok, Korea Selatan. (10/10/2023) Di Korea Selatan, hampir 40 ribu warga bunuh diri dalam 3 tahun terakhir (2020-2022), lebih tinggi dari korban Covid-19. Ngeri.

Seorang mahasiswa (NZ) UNNES Semarang meninggal karena melompat dari lantai 4 Mal Paragon Semarang. Polisi menemukan selembar kertas berisi pesan permintaan maaf pada ibunya. NZ mengaku, mengakhiri hidup karena tidak kuat menanggung beban dan merasa mengecewakan orang tuanya.

dr Khamelia Malik dari Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyebut, banyak anak muda melakukan percobaan bunuh diri dan melukai diri sendiri. Hal ini dipicu sulitnya menahan impulsivitas/ spontanitas yang tak bisa dikendalikan. Banyak pasien menganggap, bunuh diri adalah satu-satunya jalan keluar atas masalah yang dihadapi.

Bagaimana cara agar tidak mengalami gangguan mental?

1. Batasi aktivitas di media sosial

Meski bermanfaat, media sosial juga banyak berdampak negatif. Terlalu banyak konten yang merusak, yang bisa menyebabkan kelainan mental, bahkan sampai tindakan bunuh diri.

Anak SD berani-beraninya menusuk mata temannya, bahkan melompat dari lantai 4. Tidak wajar. Sebaiknya, anak SD tidak diberikan HP pribadi agar tidak ‘keracunan’ media sosial. Untuk anak muda, sebaiknya batasi aktivitas di media sosial. Kembali ke tradisi mengobrol tatap muka lebih baik untuk mencegah tekanan mental.

2. Rutin bercerita pada orang yang dipercaya

Berkaca dari kasus mahasiswa UNNES, orang tua perlu membangun komunikasi yang intens dengan anak. Orang tua harus aktif membuka komunikasi dengan pendekatan yang tidak menghakimi atau mendiskriminasi anak.

Bagi Anda orang dewasa, temukan komunitas atau orang yang dapat dipercaya untuk bercerita. Tidak punya orang dipercaya? Saat ini ada jasa sleep call, semacam curhat sebelum tidur melalui panggilan telepon. Di Instagram, ramai yang bisa menawarkan jasa ini.

Gampangnya begini, Anda bisa cerita apa pun kepada orang yang tidak dikenal via telepon, dan membayar biaya jasanya. Daripada tertekan tidak tahu mau bicara dengan siapa kan?

3. Lakukan olahraga atau aktivitas bernuansa alam

Olahraga atau aktivitas bernuansa alam sangat bermanfaat bagi kesehatan jasmani, maupun mental. Misalnya joging, tracking, hiking ke gunung atau air terjun.

Media sosial mengurung kita di dunia maya. Kita bisa saja tersesat di dunia nyata. Jika kita mendekat pada alam kita menghirup udara segar, melihat pepohonan rindang, air gemericik, mendengar kicau burung nan merdu. Kita bakal mensyukuri hidup yang Tuhan anugerahkan, betapa pun berat masalah menerpa.

***

Anda punya masalah berat dan tidak tahu mau cerita ke siapa? Jangan gegabah, coba terapkan tiga tips di atas. Semoga kita senantiasa sehat jasmani dan rohani! –KRAISWAN 

Referensi: 1, 2, 3, 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun