"Yoyo... yoyo..." pinta bayi kami (22 bulan) sambil merengek ingin menonton di Youtube. Maksudnya Bus Tayo.
Bayi kami menunjukkan ketertarikan tinggi pada bermacam kendaraan, khususnya bis. Beri tontonan bis Tayo tak apalah, pikir kami. Sebab lagu-lagunya ceria, gambarnya lucu. Sejauh ini tak ada unsur negatif dalam video Tayo.
Tapi siapa sangka, hanya diputarkan beberapa kali anak kami langsung ketagihan. Itu pun kami tidak izinkan dia pegang langsung. Dia duduk di kursi bayi, HP-nya disandarkan di meja. Ada cukup jarak aman bagi matanya. Poinnya, kami tidak ingin dia menguasai HP terlalu dini.
Video bis Tayo berhasil menjadi candu bagi bayi kami. Dia bisa langsung menyebut namanya begitu melihat HP. Bagaimana kalau anak dipercayakan (baca: diserahkan kepada) HP, lalu terpapar konten yang negatif dari media sosial?
Beberapa hari ini ramai di Tiktok bemacam unggahan video yang menampilkan anak-anak menirukan gerakan Skibidi Toilet.
Apa itu Skibidi Toilet?
Merupakan serial animasi di Youtube yang populer sejak Februari 2023, menceritakan kisah fantasi sejumlah pasukan penjahat toilet yang ingin menguasai dunia.
Hanya melihat salah satu klipnya, aku langsung tahu konten ini tidak bermanfaat sedikit pun. Demikian rendah imajinasi kreatornya, sampai mengangkat toilet---tempat membuang kotoran---sebagai karakter utama. Ada kalimat absurd yang sering diucapkan dipadukan dengan lagu-lagu tidak jelas.
Tak hanya gerakan, anak-anak yang ditampilkan dalam video di Tiktok dengan mudah menirukan kata-kata dari video. Ingat, anak melihat anak meniru.
Canggihnya, meski tidak berniat menonton langsung dari akunnya, tayangan Skibidi Toilet sering muncul di shorts Youtube secara acak dan tiba-tiba. Shorts itu yang mencari anak Anda.
Dalam video yang beredar, anak-anak yang terkena sindrom Skibidi Toilet terlihat berjongkok, menggerakkan kepala dan mata ke kanan dan kiri, lalu mulutnya menyanyikan lagu aneh dari serial animasi ini. Salah satu akun Tiktok yang membagikan video tersebut adalah @ikhsanz465.
Beberapa anak bahkan masuk ke dalam keranjang, tong, kardus, tempat sampah atau tempat lain yang serupa seperti toilet. Untung tidak masuk toilet beneran ya, Bunds!
Miris. Inilah buah jika bunda memberikan HP terlalu dini pada anak, tanpa pengawasan pula.
Menurut Psikolog Klinis Personal Growth Shierlen Octavia, tayangan Skibidi Toilet tidak layak untuk ditonton anak-anak. Target penontonnya tentu anak-anak. Namun, sebaiknya tidak ditonton apalagi ditirukan oleh anak-anak.
Skibidi Toilet, lanjut Octavia, menampilkan animasi dan jalan cerita yang tak masuk akal, aneh dan cenderung menampilkan kekerasan di beberapa episodenya, bahkan tidak berguna sedikitpun.
Dengan perkembangan kognitif dan emosional anak yang belum matang, serta anak belum bisa menilai maupun mengambil keputusan, tontonan semacam ini dapat menimbulkan dampak berbahaya.
Dari setiap konten yang dilihat, anak akan mempelajari perilaku orang di sekitarnya. Hal ini akan memengaruhi cara anak bertindak dan memperlakukan orang lain.
Jika mereka melihat tindak kekerasan dan terbiasa melihat tayangan aneh, sangat mungkin mereka untuk melakukan tindakan yang juga aneh, menyimpang dan tidak sesuai norma di masyarakat. Ibaratnya seperti mengisi sampah di kepala anak-anak. Sampah juga yang akan dikeluarkan dari tutur maupun tindakannya.
Lebih lanjut, tontonan semacam ini akan berdampak pada kemungkinan anak mengalami masalah emosional seperti timbulnya rasa cemas dan takut berlebihan sehingga dapat menghambat perkembangan mental mereka. Kena mental, istilah kerennya.
Bunda tidak ingin anaknya kena mental, kan?
Menurut naturnya, apa yang anak-anak lihat akan mereka pelajari, tiru dan aplikasikan dalam kesehariannya. Bagaimana respons orang tua atas sindrom Skibidi Toilet?
Merangkum dari beberapa sumber, berikut ini peran kunci orang tua agar anak tidak terkena gangguan emosional dari konten di media sosial.
1) Batasi penggunaan HP sesuai usia
Bayi zaman sekarang, hampir mustahil tidak terpapar HP dan media sosial. Beberapa orang tua tidak ingin repot, memberi HP pada anak agar diam, khususnya saat di tempat umum.
Sebaiknya batasi penggunaan HP untuk anak batita. Jangan bangga jika bisa membelikan HP pribadi buat anak. Jika salah, alih-alih bahagia anak justru berpotensi mengalami gangguan emosional.
2) Buat perjanjian tentang penggunaan HPÂ
Jika anak sudah mulai bisa diajak berkomunikasi, boleh saja memberi akses pada HP. Namun dengan catatan untuk keperluan sekolah.
Orang tua juga berhak tahu apa yang anak tonton. Jika ada konten yang tidak mereka mengerti, atau bertentangan dengan nilai yang diajarkan anak harus membicarakan pada orang tua.
Masalahnya jika orang tua tidak pernah mengajarkan nilai pada anak, dia akan menyerap mentah-mentah semua konten dari media sosial.
3) Pantau penggunaan gawai secara berkala
Jangan mengira anak baik-baik saja jika sudah diberi HP. Konten yang mereka tonton tidak semua membangun. Orang tua perlu memantau gawai anak secara rutin.
Kurangnya pengawasan atau pembiaran menjadi peluang anak terjebak menonton konten yang merusak seperti adegan kekerasan atau hal-hal yang tidak sesuai usianya. Entahkah dari media sosial, game online maupun media lainnya.
Dengan mendampingi anak, kita bisa mengarahkan dan memilahkan konten yang positif atau memberikan penjelasan pada anak jika muncul konten yang kurang baik.
Jika perlu, gunakan fitur-fitur keamanan keluarga seperti SafeSearch di Google yang dapat membantu memfilter konten tertentu di hasil penelusuran, baik gambar, video maupun situs web. Ini pun tidak jaminan aman. Orang tua tetap harus memantau HP anak.
4) Bangun relasi yang hangat dan terbuka
Salah besar jika orang tua berpikir memberi HP lalu tidak membangun komunikasi. Justru harus lebih berjuang membangun relasi dengan anak di tengah budaya menunduk saat ini. Orang tua harus mengusahakan komunikasi yang terbuka dengan anak, demikian juga anak kepada orang tua. Termasuk dalam menceritakan mengenai tontonan mereka.
5) Dorong anak untuk aktif di dunia nyata
Semenarik-menariknya dunia digital, tetaplah tidak nyata. Terlalu banyak ilusi, efek dan filter di media sosial. Maka selain mahir mengakses dunia maya, penting bagi anak aktif di dunia nyata, berinteraksi dengan teman sebayanya.
Ada sebuah video lain menampilkan seorang anak sedang tidur, tapi tangannya seolah memegang HP sambil scrolling. Posisi tidur lho ini. Artinya? Dalam pikiran bawah sadarnya, ia terus memikirkan memegang HP. Ini parah.
Ini era digital. Tanpa diajari, anak bisa menguasai gawai, lebih mahir dari kita orang tua. Daripada menuai kerugian pada anak kita, orang tua harus bijak memegang kendali atas HP yang diberikan pada anak. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H