Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Beda Adat, Siapa Takut? #34

10 Agustus 2023   14:57 Diperbarui: 10 Agustus 2023   15:06 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makan siang sambil mendiskusikan buku | foto: dokumentasi pribadi

Saat mengunjungi Yanti ke Jakarta, Maret 2019, Yanti berencana mengajak Kris mampir ke rumah tulang Kiki, di daerah Tangerang.

Dalam bahasa Batak, 'tulang' berarti paman. Penyebutan nama di belakang kata 'tulang', mengacu pada nama anak pertama. Tulang Kiki, berarti paman ini punya anak bernama Kiki.

Sebenarnya tulang yang mengundang kami ke rumahnya, sekalian mau berkenalan. Rupanya tulang sudah mendengar rencana pernikahan Kris dan Yanti---yang belum menunjukkan progres berarti.

Sudah siapkah Kris membahas pernikahan dengan tulang? Bagaimana kalau ke Jakarta hanya bertemu Yanti, tidak usah bertemu tulang?

Tulang kiki adalah saudara mama Yanti yang paling sulung dari delapan bersaudara. Tulang menjadi representasi orang tua Yanti. Hal ini karena dalam membahas hal penting, seperti pernikahan, decision maker-nya tidak hanya bapak-ibunya, tapi keluarga besar.

Dalam bayangan Kris, tulang adalah sosok yang kaku dan menyeramkan. Bisa mati kutu aku. Jika pada pertemuan ini nanti diskusinya kurang lancar, bisa jadi Kris batal kunjungan ke Medan. Setidaknya ditunda sampai siap lahir, batin, dan.... dompet.

"Tulang orangnya santai, kok. Tenang saja." Meski Yanti berusaha menenangkan, tidak serta merta menghilangkan kecemasan dalam Kris memikirkan pernikahan. Bagaimana kalau tulang Kiki orang yang pertama tidak memberi restu pada pernikahan kami? Kris bukan orang Batak. Miskin pula. Kami harus bagaimana...?

Berdoa.

Sebagaimana halnya perjuangan mencari Pasangan Hidup kami terus melibatkan dalam doa. Demikian juga saat hendak bertemu tulang. Kami mendoakan, kiranya pertemuan dengan tulang berjalan lancar dan mendapat respons yang baik.

Dan Yanti benar. (Apakah wanita memang selalu benar?) Pada masa mudanya, tulang memutuskan merantau ke Jawa. Beragam pekerjaan dilakoninya demi bertahan hidup. Gurat nasib telah membawanya bertemu seorang perempuan Sunda, yang lalu dinikahinya. Kini, mereka telah dikaruniai empat orang anak, dua di antaranya kembar.

Wait, tulang menikah dengan orang Sunda, which is non-Batak...? Sebab tidak lazim orang Batak menikah dengan beda suku. Berarti Yanti ada temannya. Apalagi tulang adalah anak sulung. Orang Batak yang sudah hidup di luar kampung bakal lebih fleksibel dan terbuka pemikirannya. Tidak masalah untuk menikah dengan orang di luar suku Batak.

Sejak awal kami berprinsip, salah satu kriteria memilih Pasangan Hidup adalah karakter yang hidup baru, dewasa, dan takut akan Tuhan. Kesamaan suku (atau suku tertentu) tidak masuk dalam kriteria.

Setelah saling berkenalan dengan tulang, kami mengobrol beberapa hal khususnya terkait adat pernikahan orang Batak. Boleh saja orang Batak menikah dengan orang bukan Batak. Namun harus tetap melaksanakan acara adat. WAJIB.

Wah, lha ini yang berat. Sebab, itu artinya butuh banyak uang. Padahal prinsip kami dalam menyiapkan pernikahan ini adalah tidak ingin membebankan biaya kepada orang tua. Kami ingin berusaha semampu kami, dalam waktu yang tersedia, entah berapa nominal yang bisa dikumpulkan.

"Kapan rencana kalian (menikah)?", serang tulang. JLEB! Inilah ciri khas orang Batak. To the point. Tidak perlu kebanyakan intro. Ingin rasanya aku lenyap dari ruang tamu itu. (Mirip saat Kris berkunjung ke rumah teman Yanti di daerah Ungaran.)

"Jangan terburu-buru, tapi juga jangan ditunda-tunda." Alih-alih menenangkan, penjelasan tulang makin membuat cemas. "Bagi orang Batak, pernikahan adat itu harus. Jika tidak akan mempermalukan keluarga dan menjadi gunjingan orang." Bahkan tulang yang sudah bertahun-tahun hidup di luar kampung pun tidak bisa lepas dari adat.

"Pesta adat tetap harus dilaksanakan. Mungkin bisa dua atau tiga tahun setelah menikah, setelah kalian punya anak." Sedikit angin segar. Itu juga yang sempat Kris dan Yanti pikirkan sebagai alternatif. Inginnya, menikah sah secara agama dan negara lebih dulu. Urusan adat bisa menyusul.

Padahal kalau mau tidak usah melakukan pesta adat. Lagi pula, kami akan tinggal di Jawa, tidak setiap hari bertemu dengan orang kampung. Beberapa teman kami yang non-Batak menikahi gadis Batak juga begitu. Tidak menuruti adat yang terlalu membebani, tinggal di Jawa dan menjalani kehidupan normal.

Tapi kami juga berkomitmen untuk menghormati adat keluarga orang Batak. Menghormati ya, bukan menuruti semua rangkaian adat. Sekaligus juga melestarikan kebudayaan nusantara yang teramat kaya ini.

Tulang Kiki diadatkan juga setelah punya anak (kalau tidak salah saat Yanti usia SMP). Itu pun dilakukan secara sederhana. Artinya bisa dinego. "Yang penting jangan sampai berhutang, repot nanti." Klop dengan prinsip kami. Puji Tuhan, setidaknya dasar pemikiran tulang sejalan dengan prinsip kami tentang pernikahan.

Selama sharing di rumah tulang, Kris dan Yanti lebih banyak dikuatkan daripada disudutkan. Kami merasa diterima dan mendapat restu. Realitasnya sangat jauh dari bayang ketakutan Kris. Puji Tuhan! Tulang Kiki sebagai yang sulung akan membantu memberi penjelasan pada keluarga besar Yanti tentang rencana pernikahan kami. --KRAISWAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun