Sejak awal kami berprinsip, salah satu kriteria memilih Pasangan Hidup adalah karakter yang hidup baru, dewasa, dan takut akan Tuhan. Kesamaan suku (atau suku tertentu) tidak masuk dalam kriteria.
Setelah saling berkenalan dengan tulang, kami mengobrol beberapa hal khususnya terkait adat pernikahan orang Batak. Boleh saja orang Batak menikah dengan orang bukan Batak. Namun harus tetap melaksanakan acara adat. WAJIB.
Wah, lha ini yang berat. Sebab, itu artinya butuh banyak uang. Padahal prinsip kami dalam menyiapkan pernikahan ini adalah tidak ingin membebankan biaya kepada orang tua. Kami ingin berusaha semampu kami, dalam waktu yang tersedia, entah berapa nominal yang bisa dikumpulkan.
"Kapan rencana kalian (menikah)?", serang tulang. JLEB! Inilah ciri khas orang Batak. To the point. Tidak perlu kebanyakan intro. Ingin rasanya aku lenyap dari ruang tamu itu. (Mirip saat Kris berkunjung ke rumah teman Yanti di daerah Ungaran.)
"Jangan terburu-buru, tapi juga jangan ditunda-tunda." Alih-alih menenangkan, penjelasan tulang makin membuat cemas. "Bagi orang Batak, pernikahan adat itu harus. Jika tidak akan mempermalukan keluarga dan menjadi gunjingan orang." Bahkan tulang yang sudah bertahun-tahun hidup di luar kampung pun tidak bisa lepas dari adat.
"Pesta adat tetap harus dilaksanakan. Mungkin bisa dua atau tiga tahun setelah menikah, setelah kalian punya anak." Sedikit angin segar. Itu juga yang sempat Kris dan Yanti pikirkan sebagai alternatif. Inginnya, menikah sah secara agama dan negara lebih dulu. Urusan adat bisa menyusul.
Padahal kalau mau tidak usah melakukan pesta adat. Lagi pula, kami akan tinggal di Jawa, tidak setiap hari bertemu dengan orang kampung. Beberapa teman kami yang non-Batak menikahi gadis Batak juga begitu. Tidak menuruti adat yang terlalu membebani, tinggal di Jawa dan menjalani kehidupan normal.
Tapi kami juga berkomitmen untuk menghormati adat keluarga orang Batak. Menghormati ya, bukan menuruti semua rangkaian adat. Sekaligus juga melestarikan kebudayaan nusantara yang teramat kaya ini.
Tulang Kiki diadatkan juga setelah punya anak (kalau tidak salah saat Yanti usia SMP). Itu pun dilakukan secara sederhana. Artinya bisa dinego. "Yang penting jangan sampai berhutang, repot nanti." Klop dengan prinsip kami. Puji Tuhan, setidaknya dasar pemikiran tulang sejalan dengan prinsip kami tentang pernikahan.
Selama sharing di rumah tulang, Kris dan Yanti lebih banyak dikuatkan daripada disudutkan. Kami merasa diterima dan mendapat restu. Realitasnya sangat jauh dari bayang ketakutan Kris. Puji Tuhan! Tulang Kiki sebagai yang sulung akan membantu memberi penjelasan pada keluarga besar Yanti tentang rencana pernikahan kami. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H