Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Lagi, Merebut Urutan Antre Jadi Malu Sendiri

4 Agustus 2023   13:55 Diperbarui: 10 Agustus 2023   13:40 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi antrean di luar. (Sumber: Shutterstock/Ned Snowman via kompas.com)

Bagi sebagian besar orang di Indonesia, perut lebih penting daripada adab.

Ini menjadi salah satu alasan Indonesia sulit maju. Yang dipikirkan adalah perut (kepentingan) sendiri. Adab, sikap saling menghormati dan kemampuan menahan diri dilupakan. Ini biasa terjadi saat mengantre di tempat publik seperti bank, atau tempat belanja misalnya.

Beberapa tahun lalu aku sedang antre untuk vaksin booster Covid-19. Di tempat parkir gereja, kami duduk sesuai antrean. Saat giliranku hampir tiba, tinggal berdiri saja, tetiba seorang ibu menyerobot tanpa sungkan atau rasa bersalah.

Entah kenapa, aku pasrah tak bisa marah seperti orang kebanyakan. Aku bertanya-tanya, apakah ibu itu yang tidak tahu diri, atau aku yang terlalu takut menegur?

Ujungnya, ibu itu batal mendapat vaksin. Penyebabnya tekanan darahnya tinggi. Nah kan, sikap tak beradab menuai hasilnya juga. 

Dari situ aku mulai sadar, aku tidak sepenuhnya penakut. Aku diizinkan melihat langsung tindakan merebut antrean tidak menjadi berkat. Malah jadi malu sendiri.

Ada kisah lain yang serupa. Kamis (3/8), aku bersama dua teman pergi ke salah satu bank pemerintah guna mengganti kartu ATM yang akan kedaluwarsa bulan Agustus. 

Kami memilih hari Kamis, yakni saat anak-anak pulang awal. Tidak mudah izin di tengah jam kerja, khususnya di sekolah kami. Tidak bisa seenaknya meninggalkan murid.

Tiga tahun lalu, kami membuka rekening bank pemerintah meski sudah punya akun di bank lain. Alasannya, karena para guru non-PNS mendapat bantuan dana dari pemerintah, istilahnya kesra. Penyalurannya harus melalui bank pemerintah ini.

Ilustrasi antri di bank | foto: www.swarnanews.co.id
Ilustrasi antri di bank | foto: www.swarnanews.co.id

Tiba di bank. Kami menunggu sekitar 10 orang yang tiba lebih dulu. Tidak lama kok, kata mas satpam. Menjadi rahasia umum, di kalangan pemerintah biasa ada orang dalam. Kami pun tak ketinggalan, hehe. Tapi bukan untuk melanggar aturan ya.

Maksudnya, ada suami teman kami yang bekerja di sini. Kami minta diambilkan nomor antrean supaya tidak terlalu lama menunggu. Sekedar untuk memangkas antrean.

Sambil menunggu, dua teman perempuan asyik mengobrol ala emak-emak. Aku cukup menyimak, sesekali memberi tanggapan. Ada tiga jenis teller di bank ini. Kami hendak ganti kartu ATM, diarahkan ke teller "C".

Tak sampai setengah jam, nomor temanku dipanggil (nomor kami berurutan, aku paling belakangan. Lelaki mengalah.) Aku dan satu teman lagi masih harus mengisi formulir. 

Selesai diisi, kami menunggu di pojok kerja yang disediakan bank ini. Setting-annya ala-ala cafe. Posisinya persis di samping teller.

Tak lama, nomor temanku dipanggil. Aku masih menunggu bersama temanku yang sudah selesai. Di meja teller paling kiri (paling dekat dengan tempat aku duduk), urusan nasabahnya selesai. Ibu teller-nya menekan tombol, kemudian suara perempuan memanggil nomor "C 114". Itu nomorku.

Baru saja aku berdiri...

Sat-set-thas-thes, seorang ibu berhijab dengan setelan baju batik cokelat-kuning sudah duduk di depan teller bak memakai teleportasi. Lebih cepat dari kedipan mataku. Bukannya menegur ibu itu, aku memberi kode dengan temanku yang sudah selesai.

"Maunya apa sih? Ndak bisa antre ya??!" arti tatapan mataku ke teman. Harusnya aku sampaikan langsung pada ibu yang merebut antreanku. Ibu itu tidak menunjukkan nomor antreannya. Curang! Jangan-jangan dia bahkan tak punya nomor antrean?

Otak dan perasaanku berjolak. "Ibu itu menyerobot antrean, tegur dong!" Dibalas suara lain dalam kepalaku, "Tenang. Sabar. Ingat, merebut antrean takkan jadi berkat." Aku tetap diam, meski agak senewen. Akan terjadi apa setelah ini?

Sontak, aku teringat kejadian tahun lalu saat antri vaksin itu. Di awal kejadian ibu itu merebut antreanku, aku juga berontak. 

Kenapa tidak berani melawan, melabrak atau memaki seperti orang-orang lain? Namun, akhir ceritanya justru berbeda dari ekspektasi. Ibu itu batal divaksin.

Ibu di teller itu juga agak teledor, tidak menanyakan nomor antrian ibu berhijab itu. Dibacanya formulir nasabah, dimasukkan ke dalam komputer. 

Beberapa menit kemudian, teller-nya baru sadar kalau ibunya salah 'kamar'. "Astafirulloh..." kata nasabah itu sambil memegang jidat, padahal masih muda. Malu dong menyerobot antrian, ternyata salah.

Aku langsung berdiri, "Bu, saya yang nomor 114". TELAT! Ibunya pun meminta maaf karena duduk di tempat yang salah, menyebabkan aku harus menunggu lebih lama.

Dari dua kisah ini aku belajar pentingnya mengantre. Entah kebetulan atau bukan, yang jelas kalau adab dijunjung tinggi, mau sabar dan menahan diri, menghormati orang lain, pasti akan menjadi berkat. 

Sebaliknya, kalau suka menyerobot antrean, tidak jadi berkat malah berujung malu sendiri. --KRAISWAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun