Maksudnya, ada suami teman kami yang bekerja di sini. Kami minta diambilkan nomor antrean supaya tidak terlalu lama menunggu. Sekedar untuk memangkas antrean.
Sambil menunggu, dua teman perempuan asyik mengobrol ala emak-emak. Aku cukup menyimak, sesekali memberi tanggapan. Ada tiga jenis teller di bank ini. Kami hendak ganti kartu ATM, diarahkan ke teller "C".
Tak sampai setengah jam, nomor temanku dipanggil (nomor kami berurutan, aku paling belakangan. Lelaki mengalah.) Aku dan satu teman lagi masih harus mengisi formulir.Â
Selesai diisi, kami menunggu di pojok kerja yang disediakan bank ini. Setting-annya ala-ala cafe. Posisinya persis di samping teller.
Tak lama, nomor temanku dipanggil. Aku masih menunggu bersama temanku yang sudah selesai. Di meja teller paling kiri (paling dekat dengan tempat aku duduk), urusan nasabahnya selesai. Ibu teller-nya menekan tombol, kemudian suara perempuan memanggil nomor "C 114". Itu nomorku.
Baru saja aku berdiri...
Sat-set-thas-thes, seorang ibu berhijab dengan setelan baju batik cokelat-kuning sudah duduk di depan teller bak memakai teleportasi. Lebih cepat dari kedipan mataku. Bukannya menegur ibu itu, aku memberi kode dengan temanku yang sudah selesai.
"Maunya apa sih? Ndak bisa antre ya??!" arti tatapan mataku ke teman. Harusnya aku sampaikan langsung pada ibu yang merebut antreanku. Ibu itu tidak menunjukkan nomor antreannya. Curang! Jangan-jangan dia bahkan tak punya nomor antrean?
Otak dan perasaanku berjolak. "Ibu itu menyerobot antrean, tegur dong!" Dibalas suara lain dalam kepalaku, "Tenang. Sabar. Ingat, merebut antrean takkan jadi berkat." Aku tetap diam, meski agak senewen. Akan terjadi apa setelah ini?
Sontak, aku teringat kejadian tahun lalu saat antri vaksin itu. Di awal kejadian ibu itu merebut antreanku, aku juga berontak.Â
Kenapa tidak berani melawan, melabrak atau memaki seperti orang-orang lain? Namun, akhir ceritanya justru berbeda dari ekspektasi. Ibu itu batal divaksin.