Waktu pacaran, meski ketemuan cuma dua hari bisa 'mengobati' rindu dua bulan tidak bertemu. Setelah menikah, 10 hari terpisah dari anak-istri adalah derita tak terkira.
Sejak awal pacaran, kami terpaksa LDR karena urusan pekerjaan. Namun kami berkomitmen bahwa setelah menikah tidak ingin LDM (long distance marriage). Kalau pada akhirnya harus berjauhan, barang sesaat, apalah daya.
Salah satu penghiburan dari LDR dengan anak istri adalah aku bisa membereskan rumah lebih leluasa. Itu pun tidak langsung tuntas karena terlalu banyak yang harus dibereskan. Aku juga bisa menulis lebih banyak artikel, sampai bisa menjadi beberapa seri. Produktif.
Konsekuensinya, aku harus mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Memasak, makan, setrika baju, menonton, sampai tidur: sendirian. Hidup sendiri itu menyakitkan. Kesakitan ini dipicu rasa kangen pada anak-istri. Biasanya aku bisa menyentuh mereka setiap saat. (Aku punya bahasa kasih sentuhan.)
Memasak sendiri ada kelebihan dan kekurangan. Memasaknya sedikit, jadi lebih hemat. Beli sayur sedikit, bisa buat seminggu. Mau beli lauk apa saja juga bebas dimakan sendiri. Kekurangannya? Banyak.
Kalau ada kegiatan di tempat lain, atau ke rumah orang tua, makannya di sana juga. Praktis nasi di rumah tidak dimakan. Jadinya basi karena tidak sempat dipanaskan. Makan sendiri itu, betapa pun enak makanannya, rasanya mengerikan. Sepi. Apalagi seminggu pertama masuk kerja aku pulang jam 12. Makan siangnya di rumah, sepinya sangat terasa.
Syukurnya, hari-hari yang mengerikan itu akan segera berakhir. Hari ini istri dan anak akan terbang dengan pesawat menuju Jakarta. Dari Jakarta naik bis ke Salatiga, tibanya pun Rabu malam. Semalam lagi harus berjuang sendiri melawan kesepian.
Syukurnya dalam tiga hari ini ada beberapa agenda tambahan untuk mengatasi kesendirian.
1) Kerja bakti di kompleks
Perayaan kemenangan bangsa telah dekat. Bendera merah putih dan beragam warna telah menghiasi tepian jalan raya. Biasanya di bawah pohon rimbun. Di kompleks-kompleks perumahan bendera mulai dipasang di depan rumah. Umbul-umbul turut meramaikan tepian jalan. Marka jalan pun ditebalkan dari jejak cat tahun lalu.
Hari Senin jam 16.00, kompleks RT tempat tinggalku mengadakan kerja bakti. Aku masih ada les di jam itu, maka izin datang terlambat. Rupanya banyak bapak-bapak lain yang juga izin terlambat karena masih jam pulang kerja.
Syukur ada kebersamaan yang baik di lingkup RT-ku. Kebersamaan ini yang menjadikan rukun. Bersyukur juga bisa mengalihkan dari kesepian.
2) Mulai les tambahan
Sejatinya, sejak minggu lalu aku tiba di Salatiga sudah bisa mulai les dengan para murid. Namun, karena masih harus istirahat dan beberes rumah aku tunda mulainya. Konsekuensinya, pemasukan tambahannya menurun. Jadi harus sangat menghemat untuk pengeluaran.
Dua hari ini aku sudah mulai les. Otak dan tubuhnya harus dikondisikan dengan ritme kerja berkesinambungan. Meski hanya 60 menit, waktu ngelesi ini juga cukup efektif mengatasi kesendirian. Belum bisa berinteraksi langsung dengan anak sendiri, dengan anak les saja.
3) Lanjut beberes rumah
Rumah tinggal kami memang tidak luas. Namun dengan beragam barang---mainan anak, buku-buku, dan perkakas dapur (istriku produsen minuman herbal pula)---dibutuhkan rak untuk menata barang. Makin sempitlah rumah kami.
Beberapa rak di rumah kami ada yang dibeli, ada pula yang aku buat dari papan ala kadarnya. Dua rak sudah aku bereskan minggu lalu. Masih ada satu rak lagi yang lebih besar. Ditambah dengan satu sisi tembok yang harus dicat. Sampai istri menjelang pulang, pekerjaan beberes belum kelar juga. Terlalu.
Demikian kisahku dalam kesendirian. Meski sendiri di rumah, tetap ada pekerjaan dan hal-hal bermanfaat yang bisa dilakukan. Istri dan anak puas liburan, rumah pun tak nampak berantakan. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H