Betapa pun kecilnya rumah tinggal kami, dijejali dengan bermacam barang. Ketidakhadiran istri yang biasanya cerewet, dan anak bayi yang biasanya mengacak-acak barang: naik turun meja-kursi, mematikan kompor, membuka pintu kulkas sampai saklar lampu menjadi penyebabnya.
Aku berangkat hari Minggu (9/7) jam 5 dari kampung. Perjalanan ke bandara, naik pesawat ke Jakarta, oper bis ke Salatiga. Baru jam 3 dini hari aku tiba di rumah. Apakah bisa langsung tidur? Tidak.
Tidur-tidur ayam di bis yang melaju selama 8 jam cukup mampu menghalau kantuk. Meski alarm tubuhnya mengharuskan jam 3 subuh itu untuk tidur.
Aku segera menaruh barang bawaan, ganti pakaian, mengecas HP, dan memasak nasi buat sarapan dan bekal besok. Inilah perjuangan di rumah sendirian. Biasanya makanan, pakaian dan segala sesuatu di rumah disiapkan istri. Kali ini aku harus mandiri. Betapa rapuhnya kita tanpa sosok penolong.
Nasi sudah dimasak. Lauknya apa? Aku melihat 'brangkas' yang dingin, dan rak bumbu. Ah, orak-arik telur saja, yang mudah dan praktis. Minggu ini kami diizinkan berpakaian bebas-rapi-sopan ke kantor. Jadi tidak pusing hal seragam.
Jarum pendek di antara angka tiga dan empat. Aku sebaiknya tidur, barang 1-2 jam. Tapi... mata sulit dikatupkan betapa pun badan terasa pegal karena duduk di bis selama 8 jam! Gawat. Bagaimana ini?
Rupa-rupanya bayang kesendirian ini masih menghantuiku. Perasaan baru beberapa jam lalu aku masih menggendong anak, masih bisa bersentuhan dengan istriku. Biasanya kalau tidur juga dekat dengan mereka. Sekarang, aku tidur ditemani bantal, guling, selimut dan koleksi boneka anakku. Aku rindu istri dan anakku!
Begini rasanya jadi bujangan biar cuma seminggu. Aku ingin mataku segera terpejam dan berharap besok saat bangun, istri dan anakku sudah ada di sampingku. Dan semoga aku tidak bangun kesiangan! --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H