Bulan Juni-Juli kami begitu padat. Menjelang libur akhir semester yang hanya satu minggu, kami punya banyak daftar agenda.
Istriku menjadi pembicara di 3 sesi, aku menyelesaikan rapor di sekolah, kami memimpin kelompok kecil, adikku menikah tanggal 16 Juni sedangkan adik ipar tanggal 7 Juli.
Kalau rutinitas, kami biasa mengatasinya. Namun acara insidental seperti pernikahan ini yang agak ribet. Meski tidak banyak membantu, kami harus mengelola waktu, tenaga dan pikiran. Belum lagi perasaan jika terjadi kebuntuan dalam diskusi.
Dalam persiapan acara adikku, diselingi dengan bapak yang kolot. Untuk acara adik ipar, kami harus mengatur izin di tempat kerja, sebab ada raker yang harusnya aku ikuti. Perizinan ini berkaitan dengan pembelian tiket pesawat. Kami berkejaran dengan waktu.
Selain itu, perjalanan kali ini lebih menantang karena membawa si bayi. Dulu sehabis nikah, kami pergi berdua. Kini saat pulang kampung, telah bertiga. Bagaimana kami mensiasatinya?
1) Pesan tiket jauh hari
Biaya merantau memang mahal. Baik biaya hidup, maupun transportasi, apalagi naik pesawat. Sebagaimana hukum pasar, harga tiket melambung saat musim liburan.
Istriku sudah merantau sejak lulus SMA, sudah berkali-kali naik pesawat. Untuk mensiasati harga tiket mahal, ia membeli jauh-jauh hari. Bisa menghemat sampai 50%.
Aku lebih dulu memastikan perkiraan waktu liburku. Baru dikomunikasikan dengan adik ipar untuk menentukan tanggal pernikahan. Keren kan, tanggal nikah adikku mengikuti tanggal liburku, hehe. Dengan begitu barulah membeli tiket pesawat.
2) Mengatasi transit terlalu lama
Ada penerbangan langsung ke Kualanamu dari Jogja. Tapi transit 5-6 jam di bandara. Biayanya juga mahal, 1,7 juta/orang.
Istri menyarankan, beli tiket yang dari Jakarta. Harganya lebih murah, sekalian mampir ke rumah tulang godang (paman nomor satu). Menjadi petualangan juga bersama anak bayi. Sekali dayung, tiga pulau dilampaui.
Bagaimana cara ke Jakarta? Bis, atau kereta? Kereta memang lebih ontime. Tapi akses ke stasiun-bandara susah. Bis menjadi jawabannya.
Selain akses dari terminal-bandara lebih mudah, dengan naik bis dapat sekali makan. Anak bayi sudah "kursus" naik bis ke Solo. Ini waktunya praktik. Ia pun bisa enjoy menikmati perjalanan dengan bis.
Biaya ringan, anak pun girang. Sebab dia bisa naik turun berdiri di kursi selama perjalanan sambil melihat kendaraan lain berlalu lalang.
3) Mengenalkan bermacam alat transportasi
Anak kami (lelaki, 20 bulan) minat tinggi terhadap kendaraan. Utamanya 'bisss', 'tukkk', dan 'wattt'. Kami punya flash card kendaraan di rumah.
Kami sering mengajaknya bepergian dengan motor maupun mobil, sambil dia melihat kami kenalkan namanya, dia tahu bentuk dan suaranya.
Kendaraan darat hampir semua dia sudah lihat. Kali ini kesempatan anak kami naik pesawat. Tinggal kapan nanti di kampung naik kapal menyeberang ke Samosir.
Syukurnya, anak kami tidak mabukan dan tidak rewel. Keren!
4) Bulan Juli, momen yang tepat
Selesai acara pernikahan adikku (bulan Juni), ganti adik ipar di bulan Juli. Pas aku libur sekolah. Pas nikahan adik ipar, pas anak kami ketemu oppungnya (kakek). (Sampai si bayi bisa jalan, baru mau ketemu ini.) Anda tahu rasanya, punya cucu pertama tapi belum pernah menggendong. Rindu tak terucap.
Tambah lagi, bulan Juli anak kami masih 20 bulan, (di bawah 2 tahun) masih free tiket pesawat. Limpahnya berkat Tuhan. Kepulangan kami ini menjadi momen yang tepat.
Kepulangan kami juga menjadi kesempatan mengenalkan anak pada keluarga besar orang Batak di kampung Sumatra. Melihat semua keluarga dalam kondisi sehat, berkumpul dalam momen bahagia, indahnya!
Demikian kisah kami. Di Jawa kami tinggal dan berkarya, di Medan kami liburan ke kampung halaman. Anak kami menjadi saksi indahnya perjalanan kami menjelajah Jawa dan tanah Batak. Pergi berdua, pulang bertiga. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H