Dua menit berjalan, tiga menit istirahat sambil mengatur nafas. Namun istirahat terlalu lama tidak disarankan. Harusnya berjalan perlahan, istirahat sebentar, lalu berjalan lagi. Dalam 30 menit pertama wajar jika terasa sangat lelah. Namun, saat tubuh sudah dapat ritme kaki bakal lebih ringan diayunkan.
Mata semakin berbinar mendapati pepohonan rindang semakin jarang dan jurangnya mulai nampak dengan pemandangan di bawah sana yang memukau. Artinya puncak semakin dekat. Lebih enak mendaki saat gelap, jadi fokus otaknya bukan pada jarak atau jalur mendaki. Melangkah saja terus, tahu-tahu sudah kelihatan puncak.
Pendakian kali ini juga menjadi salah satu penerapan dari projek webinar parenting yang kami ikuti, yakni mengusahakan keintiman bersama pasangan. Meski sibuk dengan pekerjaan dan mengurus anak, bukan alasan untuk tidak menikmati quality time bersama pasangan. Lebih-lebih dengan kegiatan yang menyehatkan.
Bagaimana dengan anak bayi?Â
Kami titipkan di tempat Mbah. Si bayi senang, Mbah pun riang. Kami berusaha menjalin relasi baik dengan orang tua, sehingga bisa bekerja sama untuk membantu mengasuh anak.
Sedikit saran, pakailah alas kaki yang nyaman saat mendaki. Istriku memakai sepatu yang ia beli sebelum menikah. Dengan pertambahan berat badan, sepatunya sesak, menghambatnya melangkah di jalur mendaki.Â
Dalam pendakian, kuncinya adalah mengatur nafas dan ritme bergerak. Bergeraklah sesuai irama dan ketahanan jantung. Maka perlu setidaknya satu teman saat mendaki.
Demikian kisah kami mendaki Gunung Andong: ada cinta, kenangan dan perjuangan. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H