Kami LDR, jadi tidak banyak waktu bersama. Kalau ketemu, paling makan, jalan-jalan di lingkungan alam yang dekat dan membahas buku. Memasuki pandemi Covid-19, setelah menikah, kami tidak bisa ke mana-mana. Ditambah dengan kesibukan pekerjaan dan mengurus anak.
Lima tahun kemudian (2023), kami kembali mengenang masa-masa pacaran dengan kembali mendaki Andong via Desa Sawit. Persiapan pun ala kadarnya. Sekali-dua joging meski hanya 15 menit. Baru pada Jumat (2/6) kami bisa kembali muncak.
Dulu semasih pacaran, satu jam cukup buat mencapai puncak. Setelah menikah dan punya anak, satu jam berjalan belum juga mencapai setengah perjalanan. Ada yang nafasnya tersengal-sengal, yang keringat dingin minta turun pun ada, hahaha...
Rupanya, sepatu istriku mulai sesak. Ini menghambat gerakannya. Akhirnya, sepatunya digantung. Ia memilih nyeker, dan membuatnya melesat di depan.
Sepanjang jalan kenangan, kita 'kan s'lalu bergandeng tangan...
Jika dulu saat pacaran, mau foto saja berjarak, boro-boro gandengan demi menjaga kekudusan. Aku baru berani menggandeng tangan pacarku saat prewed. Itu pun cuma untuk keperluan foto. Kini setelah menikah, boleh dong menggandeng tangan istri. Kalau berfoto juga tidak lagi berjarak, sudah sah.
Pejalanan mendaki Andong ini menjadi kenangan yang takkan terlupakan. Kelak, kami juga ingin mengajak si kecil muncak. Kami ingin mengajarkannya cinta alam dan belajar menaklukkan diri sendiri dengan mengambil satu langkah-langkah kecil hingga mencapai puncak. Berkemah dengan anak bakal seru juga!
Meski tidak membawa banyak barang bawaan (masing-masing membawa ransel berisi bekal), pendakian kami kali ini tetap perlu perjuangan. Latihan fisik dengan joging sekali-dua tidaklah cukup. Fisiknya lebih ditantang saat meniti jalur mendaki.