Pramuka mengajarkan kita keterampilan dasar untuk bertahan hidup. Baris-berbaris, tali-temali, membaca sandi, menyelesaikan tantangan dalam pesta siaga, dan---yang paling dinanti---berkemah.
Berkemah menjadi ujian pertama bagi anak karena harus tidur dan terpisah setidaknya dua hari dari orangtua. Anak yang biasa tidur di ruangan ber-AC dan fasilitas yang lengkap bakal kesulitan. Tidak bisa tidur karena takut gelap dan beralaskan tanah.
Saat SD, kami berkemah di sekolah lain, masih dalam satu desa. Makannya sudah disediakan nasi bungkus. Yang seru, kami dibangunkan jam 4 subuh untuk jelajah medan di tempat gelap. Untuk uji mental.
Saat SMP kemahnya di hutan pinus daerah Kopeng. Tanahnya berdebu, kalau malam dinginnnn bukan main. Makannya juga disediakan nasi bungkus. Padahal, diharapkan anak-anak belajar keterampilan hidup, misalnya memasak sendiri.
Meski ribet, keterampilan ini penting. Bagaimana cara mengupas dan memotong sayur, serta menyalakan kompor. Sedangkan memecah kulit telur saja tidak semua anak bisa.
Generasi Alpha (generasi gadget), generasi yang disambut gawai dan internet sejak lahir, bisa tidak punya keterampilan ini. Mau makan, pesan online. Mau main, pegang handphone tanpa harus keluar rumah. Butuh hiburan, scroll IG, Youtube atau Tiktok. Pusing mengerjakan PR, tanya Google/Chat GPT. Semua tersedia.
Bagi generasi Alpha, dunia ada dalam genggaman. Tapi di saat bersamaan, mereka terkurung di dunia maya. Jarang berinteraksi dengan lingkungan dan alam sekitar. Kalau mati listrik/paket data habis...? Mati kutu.
Saat muridku makan siang ada kuah yang dibungkus plastik. Mereka bingung cara membuka. Kan tinggal digunting, atau digigit ujungnya (seperti kalau kita jajan pentol atau dawet).
Ada juga yang makan siangnya belum diantar, 30 menit lebih. Logikanya, kalau lapar ia harus minta tolong pada guru untuk menghubungi orangtua. Tapi mereka memilih diam. Apa susahnya bilang pada guru?
Aku tidak bisa bayangkan nasib mereka kalau terjebak di tengah hutan. Tidak ada sinyal, tidak ada orang yang dapat dimintai tolong. Ini adalah bukti, penguasaan teknologi tidak menjamin mereka bisa bertahan hidup di dunia nyata. Beda cerita dengan anak-anak korban pesawat yang jatuh di hutan Amazon.
Pada Senin (1/5) dini hari pesawat kecil yang berisi tujuh penumpang jatuh di Hutan Amazon. Ibu mereka, pilot dan kopilot meninggal dalam kejadian ini. Empat orang anak berusia 13, sembilan, empat dan satu tahun sanggup bertahan selama 40 hari di hutan yang penuh ular, jaguar dan nyamuk.
Bagaimana bisa anak-anak bertahan selama itu di area yang belum pernah dieksplorasi? Orang dewasa pun belum tentu bisa bertahan.
Keempat anak itu adalah keluarga Mucutuy, masyarakat adat Huitoto, yang telah dipersiapkan untuk menghadapi tantangan. Mereka belajar berburu, memancing dan mengumpulkan makanan di hutan.
Kakek mereka, Fidencio Valencia mengatakan bahwa cucu tertua Lesly dan Soleiny sangat mengenal hutan. Keluarga tersebut rutin memainkan permainan bertahan hidup sejak usia dini.
Lesly (13 tahun) tahu buah apa yang tidak boleh dimakan, karena banyak buah beracun di hutan. Pasca kejatuhan pesawat, Lesly menceritakan bahwa ibunya masih hidup sekitar empat hari setelah pesawat jatuh. Ibunya meminta anak-anak meninggalkan lokasi kecelakaan agar dapat bertahan hidup.
Lesly membangun tempat perlindungan darurat dari dahan-dahan yang disatukan dengan ikat rambutnya. Dia juga menemukan Farina, sejenis tepung, dari puing-puing pesawat Cessna 206 yang mereka tumpangi.
Mereka bertahan sampai tepungnya habis, lalu makan biji-bijian dari buah yang mirip markisa, avicure. Waktu itu hutan sedang musim buah.
Pakar masyarakat adat Alex Rufino berujar, anak-anak itu berada di hutan yang sangat gelap, lebat dan di antara pepohonan besar. Meski ada daun untuk memurnikan air, sebagian beracun.
Tak hanya binatang liar, anak-anak itu harus bertahan dari hujan badai yang intens dan menghindari kelompok bersenjata pengedar narkoba. Mereka menerapkan apa yang dipelajari di masyarakat dan mengandalkan pengetahuan leluhur untuk bertahan hidup.
Perlu sekitar 150 tentara dan 200 sukarelawan dari kelompok masyarakat adat untuk menemukan anak-anak itu dengan menyisir area 300 km persegi.
Pada Jumat (9/6), setelah pencarian selama sebulan, anjing pelacak menemukan anak-anak tersebut. Mereka telah diterbangkan ke ibu kota Bogota dan menjalani perawatan medis di rumah sakit.
Banyak penduduk Katolik di Kolombia menyebut penyelamatan anak-anak ini sebagai keajaiban. Namun, Rufino menilai kisah ini didasari hubungan spiritual mereka dengan alam.
Anak-anak kita tidak harus terjebak di hutan untuk menguji ketahanan hidupnya, sedangkan di kelas atau di dalam rumah saja mereka minim keterampilan.
Pengalaman empat anak yang bertahan di hutan Amazon itu menjadi pembelajaran bagi generasi gadget. Jangan kira dengan memfasilitasi anak dengan segala kemudahan akan menolong mereka saat menghadapi kesulitan.
1) Menguasai teknologi bagus, tapi jangan terpisah dari alam
Generasi Alpha tidak perlu diajari untuk memakai handphone. Hanya dengan melihat dan menyentuh sendiri, mereka langsung mahir. Orangtua lah yang memegang kendali. Berikan handphone di usia yang tepat.
Tak cukup teknologi, anak harus mengetahui keterampilan dasar menggunakan pisau, cutter, gunting dan benda-benda di sekitar. Ia juga harus diajarkan mengenal alam sekitarnya. Sesekali ajaklah hiking atau camping.
2) Biarkan anak menyelesaikan masalahnya
Kalau anak mendapat masalah dengan teman di sekolah, kebanyakan kita akan maju sebagai pahlawan. Kita tidak terima jika anak kita menjadi korban apalagi dituduh pelaku. Kita ingin membela.
Tapi ini tidak berguna dan menyesatkan. Kisah Mario Dandy buktinya. Dia mengira orangtuanya yang kini tersangka bisa mengurus semua masalahnya. Biarkan anak menyelesaikan masalahnya, orangtua cukup mendampingi dan memberi dorongan.
3) Ajarkan anak rasa sakit
Anak kami (20 bulan) banyak tingkahnya. Kami dampingi ia naik kursi-meja, lompat-lompat di kasur, bahkan naik ke motor. Suatu kali ia jatuh dan jidatnya membentur lantai. Responsku? Aku memangkunya sambil meniup jidatnya.
"Nak, kalau kamu main tidak hati-hati, bisa jatuh begini, sakit uuuuu. Harus hati-hati ya...", ujarku. Apakah dia mengerti? Mungkin belum. Tapi kami ingin mengajarkan dia rasa sakit sejak dini. Ibunya segera mengambil dedaunan atau balsam untuk meredakan sakitnya. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H