Orang yang pernah menderita tak punya pekerjaanlah (jobless) yang paling bisa menghargai perkerjaannya. Yang bisa menjaga motivasi dalam bekerja, yang tak melulu soal rupiah.
Lebih jauh, orang yang mengerjakan dua atau lima talenta yang dipercayakan akan mendapat kepercayaan lebih besar dibanding orang yang dipercaya satu talenta tapi menguburnya. Kuncinya adalah kesetiaan dan ketekunan menjalankan talenta.
Belum cukup dengan aksi membatalkan kontrak kerja di sekolah di Surabaya, meninggalkan murid, guru dan rekan pelayanan di Surabaya. Ternyata Tuhan masih ingin menggembleng Kris.
Bulan Maret 2018, jadwal kunjungan PF (Partnership Fasilitator) ke PPA-ku. Waktu itu aku yang bertugas menjemput ibu PF ini di salah satu hotel ternama di Salatiga. Langit mendung. Gerimis berjatuhan begitu aku memarkirkan motor.
Demi menghindari basah di kepala, aku tetap memakai helm, berlarian kecil menuju lobi hotel. Namun, tiba-tiba aku tersandung besi merah pembatas tempat parkir mobil, lalu terdorong terhuyung-huyung ke depan sejauh sekitar 2-3 meter hampir menghantam tembok.
Firasat apakah ini?
Aku tidak bisa menjaga keseimbangan, antara mau jatuh terjerembab dan terdorong ke depan seperti mau berlari. Akibatnya, jari kakiku sedikit lecet karena membentur besi. Syukurnya memakai helm, bisa melindungi kepala dari benturan. Mungkin Tuhan ingin aku tetap memakai helm untuk menyiapkanku menghadapi skenario ini.
Di teras lorong hotel aku menunggu. Tidak ada tempat duduk untuk tamu, jadi aku tetap berdiri. Beberapa menit aku harus menunggu. Sampai gerimis pamit, ibu PF tak kunjung ke luar. Ini menjadi kesempatan bagiku untuk meredam rasa sakit. Aku merenung serius, ada apa ini?
Jujur, aku jarang mendapat firasat semacam ini. Kata orang tua, kejadian terjatuh/ tersandung bisa menjadi firasat akan terjadi sesuatu yang buruk. Entah bahaya, atak kejadian tak diinginkan. Tapi, bahaya apa? Kejadian macam apa?
Aku pun missed call pada ibu PF. Akhirnya beliau keluar dengan muka pucat. Ia mengenakan pakaian santai. Bukan pakaian semi formal yang menandakan ia siap bekerja. Ia diare, katanya, beberapa kali bolak-balik ke toilet.
Setengah berbisik, ibu ini menyampaikan bahwa kunjungannya kali ini bukan untuk mengevaluasi kinerja di PPA-ku. Melainkan menyampaikan keputusan dari kantor pusat, bahwa kemitraan PPA di gerejaku dengan Compassion diakhiri.
JEDYAAAARRR!!!
Petir nampak menyambar, padahal di luar terang benderang. Itukah arti firasat buruk yang aku alami di tempat parkir tadi...??? Aku sudah merelakan karir sebagai guru di Surabaya. Kini, apa yang aku perjuangkan justru diakhir semudah itu oleh kantor pusat.
Apakah ini adil...?
Aku pun hanya bisa pasrah. Meski tidak menunjukkan reaksi negatif, aku merasa bakal banyak masalah menghadang di depan. Bagaimana nasib anak-anak dan teman-teman staf? Apa pekerjaanku nanti?
Progres yang aku kerjakan di PPA hanya berjalan 5 bulan. Padahal dalam tiga bulan pertama kehadiran Kris, teman-teman staf sudah kembali bersemangat mengerjakan pelayanan yang sebelumnya tidak karuhan.
Pelayanan di PPA ini bak kapal dengan ratusan anak sebagai penumpang. Aku sebagai nahkoda, para staf adalah ABK (Anak Buah Kapal). Kehadiranku hanya menutupi satu lubang kecil yang membuatnya bertahan hanya beberapa bulan. Banyak lubang lain yang tidak sanggup aku tutup dengan kapasitasku. Kapal itu kandas di tengah samudra.
Menyesalkah aku kembali ke PPA? Ya, karena aku menjadi salah satu orang yang paling dirugikan. Pengorbananku tentang karir dan masa depan tidak berguna. Tapi tidak, karena aku meyakini ini panggilan Tuhan untukku pribadi. Aku belajar taat. Pada kisah berikutnya Tuhan justru menambahkan banyak hal padaku.
Aku bersama dua staf punya waktu tiga bulan untuk membereskan administrasi. Anak-anak akan tetap mendapat support dari sponsor, syaratnya mereka harus ditransfer ke PPA lain. Butuh sekoci untuk mengantarkan mereka mencapai daratan.
Selama tiga bulan itu, staf masih mendapat tanda kasih (upah). Sedangkan para mentor (pengajar) hanya dapat sampai bulan April.
However, life must be go on. Aku dan dua staf masih bisa 'bernafas' tiga bulan sambil mencari pekerjaan baru. Kris prihatin dengan anak-anak yang kehilangan 'rumah', juga rekan mentor ibu rumah tangga yang kehilangan tambahan penghasilan. Beberapa teman mentor yang masih mahasiswa bisa fokus mengerjakan studi.
Mulanya, aku pikir dalam tiga bulan itu aku bisa segera mendapat pekerjaan baru. Namun, Tuhan berkata lain. Hingga bulan Agustus aku masih terkatung-katung. Lima bulan aku resmi menganggur. Selama jobless itu Tuhan tetap memeliharaku melalui orang tua.
Beberapa usaha sudah aku tempuh. Dari mengikuti jobfair di kampus, pernah diundang interview sampai tes materi ke sekolah; semua nihil. Mereka menolakku!
Dalam kondisi tanpa pekerjaan begini, mana mungkin Kris membahas pernikahan dengan Yanti? Apakah Yanti masih mau tetap setia dengan Kris?
Boro-boro pernikahan, aku masih punya tanggungan angsuran motor, mau dibayar pakai apa? Apa motornya bisa diisi air agar berjalan? Akses internet hanya pakai wifi? Tabungan yang aku kumpulkan selama di Surabaya kian mengering untuk operasional dan angsuran motor. Miris!
Di tengah tekanan yang aku alami, Kris bersyukur Yanti tetap setia menemani Kris, mendukung dan memberi motivasi. "Tuhan pasti sediakan pekerjaann yang terbaik untukmu, pada waktuNya yang terbaik," hibur Yanti. Ah... Inilah kualitas Pasangan Hidup yang benar. Aku bersyukur! --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H