"Komentarmu, harimaumu." Ungkapan tersebut lebih relevan saat ini. Sebab komentar di medsos sama berbahayanya dengan ucapan yang keluar dari mulut. Seperti harimau yang hendak menerkam.
Kembali ada berita viral yang menyangkut guru honorer. Kasusnya merupakan 'bola salju' dari kisah pelajar remaja di Tasikmalaya yang patungan untuk membelikan sepatu temannya. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengunggah video saat ia memberi apresiasi pada para siswa via Zoom.
Saat itu Kang Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, memakai jas kuning---ciri khas partai golkar, partai terbarunya saat ini. Atas unggahan tersebut, Muhammad Sabil Fadilah (34), seorang guru SMK honorer, memberikan komentar di Instagram.
"Dalam zoom ini, maneh teh keur jadi gubernur jabar ato kader partai ato pribadi @ridwankamil???? ("Dalam zoom ini, kamu lagi jadi gubernur atau kader partai atau pribadi)" tulis Sabil. Kang Emil pun membalas, "@sabilfadhillah ceuk maneh kumaha (menurut kamu gimana)?"
Komentar Sabil ini pun dipin (disorot) oleh Kang Emil. Imbasnya, Sabil harus menjalani dua kali sidang dengan keputusan dipecat dari dua sekolah tempatnya mengajar sebagai guru honorer. Padahal Sabil memberikan komentar sebagai kritik. Sabil pun menyampaikan permohonan maaf kepada Ridwan Kamil atas komentarnya.
Emil mengakui menggunakan fitur "pin" untuk mengedukasi. "Oh gini, Kang, kalau saya nge-pin, itu saya sedang mengedukasi kepada orang-orang yang kadang komennya enggak pakai fakta." kata Emil pada Kompas.com.
Enggak pakai fakta bagaimana? Sabil berkomentar secara objektif. Emil mengenakan jas kuning saat memberi apresiasi pada para murid. Wajar kalau Sabil bertanya tindakannya tersebut sebagai gubernur, kader partai atau pribadi. Itu jelas berdasarkan fakta. Kang Emil ini bagaimana?
"Jadi pertanyaan, saya tanya ke akang, kita mengizinkan enggak orang berbicara kasar? Kan enggak. Nanti ditiru, makanya diedukasi," lanjut Emil. Nah, di sini Emil makin senewen. Kalau mau mengedukasi harusnya secara pribadi, dengan cara yang benar. Bukannya pakai fitur "pin", malah memancing komentar warganet lain. Di sini juga memunculkan persepsi bahwa Emil anti kritik, meski bilangnya tidak anti kritik.
Kalimat yang diucapkan Sabil memang kurang sopan. Ada kata "maneh", yang dalam Bahasa Sunda artinya kamu. Kata ini kurang sopan jika diucapkan pada orang yang lebih tua/ kedudukan lebih tinggi. Kata "maneh" biasa diucapkan mereka yang sudah punya hubungan dekat. Sedangkan jika tidak dekat, kata tersebut dianggap kasar.
Padahal pada unggahan lawas Sabil di Instagram menunjukkan kedekatannya dengan Emil waktu maju Pilkada Jabar 2018. Sabil adalah pendukung Emil. Keduanya berfoto sambil mengepalkan tangan satu sama lain.
Dengan bukti kedekatan ini, wajar kalau Sabil berkomentar dengan kata "maneh". Sabil merasa akbran dengan Emil. Kalau Emil tersinggung dan menganggap ini komentar kasar, berarti Emil menganggap tidak lagi dekat dengan Sabil. Mungkin lupa diri setelah menjadi pemimpin.
Rupanya Emil sempat mengirimkan direct message (DM) di Instagram pada Sabil. "Tidak pantas seorang guru spt itu." kata Emil. Usai menerima DM tersebut, Dapodik milik Sabil langsung dicabut. Dia pun diberhentikan dari dua sekolah temmpatnya mengajar sebagai guru honorer yaitu di SMK Telkom dan SMK Ponpes Manbaul Ulum.
Terkait pemecatan Sabil ini, Emil mengaku tidak tahu menahu. Emil juga tidak mengatakan tidak melakukan apa pun terhadap Sabil. "...Pada dasarnya kritik mah boleh-boleh aja. Saya kan selalu menjawab, kalau mengkritik boleh, kalau tidak sopan ya harus sopan, gitu aja. Bahwa sekolahnya melakukan sebuah tindakan, kan di luar kewenangan saya," ujar Emil.
Emil mungkin tidak melakukan apa-apa setelah komentar Sabil. Tapi, dengan melakukan "pin" justru memperkeruh suasana di media sosial. Bisa jadi, dua sekolah tempat Sabil mengabdi merasa malu dan insecure karena pegawainya memberi komentar tidak sopan pada unggahan pak gubernur, di-pin lagi.
Padahal, kalau memang Kang Emil tidak antri kritik seperti yang dikatakannya, dia tidak harus memasang pin pada komentar Sabil. Dengan besarnya wewenang sebagai gubernur, dia tetap bisa memberi himbauan agar sekolah tempat Sabil mengajar tidak perlu memecatnya. Dengan begitu akan menjaga wibawa Emil sebagai pemimpin. Namun, Emil hanya diam. Padahal, pekerjaan sebagai guru honorer sendiri sudah susah.
Informasi dari SMK Telkom Cirebon, ternyata guru Sabil punya kebiasaan yang kurang sopan. Ia sudah dua kali melakukan pelanggaran. Sabil pernah diadukan orang tua murid karena bekata kasar pada siswa di kelas. Lalu Sabil juga melanggar aturan tentang guru tidak boleh merokok. Lebih parah, Sabil mematikan CCTV agar aksi merokoknya tidak ketahuan.
Sabil sendiri mengaku, ia sudah mendapat SP1 dan SP2 dari yayasan. Meski pihak sekolah menawarkan untuk kembali mengajar di sekolahnya, Sabil menolaknya. Ia merasa malu, karena komentarnya di medsos, membuat dua lembaga terbawa dalam masalah.
***
Belajar dari kasus ini, kita harus berhati-hati dalam bertutur kata baik di dunia nyata maupun di media sosial. Jika ada pihak yang tersinggung, kita menanggung 'getahnya'.
Kalau Kang Emil memang tidak anti kritik, harusnya tidak perlu memasang pin dalam komentar Sabil. Di luar pelanggaran yang dilakukan Sabil, sebagai pemimpin Kang Emil harusnya bisa memberi himbauan kepada sekolah tempat Sabil mengajar agar tidak memecatnya. Bukannya diam dan terkesan 'cuci tangan'. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H